(LAGI-LAGI) SOAL INDONESIA & WAYANG-WAYANGNYA Tepi Batas Seni Tradisi & Nafas Para Urbanis

(LAGI-LAGI)  SOAL INDONESIA & WAYANG-WAYANGNYA

Tepi Batas Seni Tradisi & Nafas Para Urbanis

Kita boleh bernafas lega, setidaknya sedikit. Karna pertanyaan “wayang, apa tuh?…” tidak terdengar dari kawan-kawan yang hadir menyaksikan Festival Dalang Remaja kali ini.

Ya, Gedung Pewayangan Kautaman, TMII hari ini disesaki tawa dan canda. Kawan-kawan dari SMP Negeri 222 dan SMP Negeri 149, Jakarta tampak tak sabar memasuki ruang pertunjukan. Nazla Iasha Fitri yang akrab disapa Nazla menuturkan kalau ini adalah kali pertamanya menyaksikan wayang. Namun demikian Nazla merasa tak kesulitan untuk memahami wayang. Nazla bahkan dapat menikmati pertunjukan itu. Waktu diminta menjelaskan cerita yang dibawakan Ki Ardhi Purbo Antono, Nazla dengan gamblang memaparkan penuh semangat. “Itu Jabang Tetuko, cerita soal Gatot Kaca,” jelasnya cepat.

Tapi apa sebenarnya yang menarik minat Nazla untuk menonton wayang? Apakah Nazla tidak tertarik dengan pertunjukan lainnya? Smurf misalkan, yang kebetulan sedang menjadi trending topic… Bagi Nazla, wayang adalah bagian dari budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Wayang bukan sekedar tontonan tetapi berisikan ajaran yang kaya makna. Dan itulah yang membedakan dari bentuk pertunjukan lain. Senada dengan Nazla, Triyono juga mengungkapkan hal yang sama. Triyono mengatakan jika pelestarian budaya seharunya menjadi perhatian bersama. “Jangan sampai budaya kita diambil negara lain! Kacau kalau semua-semua diambil. Bisa habis budaya kita nanti…” ujar Triyono dengan semangat menggebu.

Ditanya mengenai bahasa yang seringkali menjadi momok bagi ABK-Wayang alias ‘anak baru kenal wayang’, Triyono justru menjawab kalau hal itu tak perlu dikhawatirkan. “Justru kalau wayang pakai Bahasa Indonesia nanti bisa kehilangan ciri khasnya. Lebih baik wayang pakai bahasa seperti sekarang ini…lebih menarik dan kita juga bisa mengenal bahasa daerah yang kita miliki. Sekali lagi, biar budaya kita gak dicuri!” What a surprise… Lebih-lebih, tak ada seorangpun dari kawan-kawan Triyono yang menolak komentar tersebut. Mereka justru tersenyum manis saat mendengar ide yang kelihatan gila itu. Nah, lo… Ada apakah ini? Menonton wayang tanpa translasi? Menonton wayang dengan Bahasa Kawi, Bahasa Jawa kuno? Aduh, sungguh tak terbayangkan!

Semangat untuk mengusung seni maupun budaya Indonesia tampaknya sedang kembali menggeliat. Marak dimana tempat, baik maya maupun tidak, slogan-slogan yang mengusung wujud kecintaan tersebut. Sebutlah ‘Damn, I Love Indonesia’, ‘Pedemunegeri’, Wayang 100% Indonesia, ‘Proudly Indonesia’, ‘Adalah Kita’, diantara banyak lainnya. Seni & budaya Indonesia yang sebelumnya selalu tercitrakan sebagai klasik, tradisional dan usang mulai merangkak diantara nafas para urbanis. Yang sebelumnya terpojokkan kini mulai tergerakkan menjadi modal kapital. Sebuah komoditi, bukan saja dalam artian materiil, tetapi juga non materiil.

Kebanggaan dan semangat yang sama nampaknya melandasi dibentuknya kelompok ‘Karawitan Mehome’. Mehome adalah akronim untuk ‘memang hobi menggamel’, sebuah sanggar yang dibangun bagi kawan-kawan yang ada di lingkungan SMP Negeri 149. Ibu Imas dan Ibu Sri Purwaningsih yang menjadi Pembina Mehome mengatakan, jika sekolah mereka memang concern untuk melestarikan budaya. Atas keseriusannya mengelola hal tersebut, sekolah yang terletak di kawasan Jakarta Timur itupun harus rela mendapat ganjaran sebagai sekolah berpredikat ‘pelestari budaya’. Medali emas dan perak yang mereka raih menjadi penanda keberhasilan tersebut. “Kita juga sering mengisi acara…dan tambah hari makin banyak peminatnya. Mungkin karena yang main anak-anak ya…jadi kelihatan menarik. Biasanya kan yang main orang-orang tua saja, ” tutur Bu Imas sambil tersenyum.

Wayang, karawitan, dan berbagai jenis kesenian lain memang menarik, terlebih bagi mereka yang jarang bersentuhan dengan dunia tradisi. Tak dapat dielakkan jika bagaimanapun kesenian tradisi seringkali lebih mampu memaparkan ‘kedalaman’. Kesenian tradisi memiliki ruh karena dibangun dengan dedikasi utuh dan justru karena olah-lakunya itulah ia sekaligus memiliki kesanggupan untuk mengarungi jaman. Eksotisme yang sensasional sudah barang tentu akan selalu menjadi daya tarik yang dapat menjadi boomerang bila tak terkelola dengan baik. Masalahnya, apakah anak-anak tadi benar-benar paham arti dan makna budaya? Dapatkan mereka me-rasa-kannya? Membawa pulang wayang sambil terus terjaga dengan kekayaan makna yang disisipkan dalam tiap lakonnya?

Mas Nanang Hape, seorang dalang Wayang Urban, mengatakan “Mestinya… wayang tidak serta merta bubar saat gunungan tandas ditancapkan. Setidaknya, dalam perjalanan pulang, ada yang terkenang, terngiang. Jika itu wayangan siang, dengungnya masih bersisa hingga suapan terakhir makan malam. Jika wayangan malam, desaunya bertahan hingga siang.”

Pada akhirnya, apakah seluruh fenomena ini menjadi indikasi bahwa perjalanan wayang maupun seni dan budaya Nusantara akan segera mulai menuju titik baliknya? Di luar seluruh hingar bingar yang ada, it’s absolutely Indonesia! Tanah Air Beta! (AOVI / Cin)

Share Button

Leave a Comment