Hidup Untuk Wayang (Putra Laksana Tanjung)

Sapardi hanyalah seorang pria sederhana dari Bantul, Yogyakarta. Sehari-harinya ia bekerja sebagai petani dan sesekali mencari tambahan lain sebagai wiraswasta. Suatu waktu suami dari ibu rumah tangga bernama Murwanti ini mendapatkan proyek pekerjaan di Jakarta sekedar untuk ‘mengebulkan dapur’ pasangan tersebut. Di tengah aktivitasnya bekerja, tiba-tiba Jakarta dipenuhi kerumunan massa. Penjarahan terjadi di mana-mana, kerusuhan seketika merebak menjelang kejatuhan Suharto yang telah menjabat 32 tahun lamanya sebagai Presiden RI. Sapardi pun mencari tempat aman agar tidak ikut dalam gelombang kerusuhan yang sudah tak terkendali itu. Namun tak dinyana, sebuah kabar yang tak kalah mengagetkan menyapa dirinya. Sang anak telah lahir.

Setelah 21 tahun menanti, pasangan Sapardi dan Murwanti kembali dikarunai seorang anak setelah memiliki dua orang putera. Sebelumnya Sapardi berharap Murwanti dapat melahirkan anak permpuan untuk melengkapi keluarganya. Namun siapa yang mampu menentang kehendak Sang Khalik. Pasangan ini kembali dikarunai seorang putera, tepat pada hari dimana kejadian mencekam terjadi di Jakarta dan di beberapa daerah lainnya. 13 Mei 1998. Hari yang tak mungkin dilupakan Sapardi sepanjang sisa hidupnya. mereka menamainya, Putra Laksana Tanjung.

Seakan tidak pernah lepas dari keunikan, pasangan Sapardi dan Murwanti ini terus menemui keunikan-keunikan lain dari Putra. Adalah seorang Dalang bernama Mbah Timbul (alm.) yang sering tampil pada malam Jumat Kliwon di daerah Parangkusumo, Yogyakarta yang membuat Putra mulai jatuh hati pada Wayang. Kala itu usianya memasuki umur lima tahun, namun ia menunjukkan minat yang melebihi minat orang-orang dewasa pada Wayang. Putra tidak mau beranjak meninggalkan tempat pertunjukkan sebelum Mbah Timbul menyelesaikan pertunjukkannya. Para penabuh dan pengiring Wayang serta para penonton lainnya pun heran, bocah yang kala itu masih berada di bangku Taman Kanak-Kanak ini bisa tahan menonton pagelaran Wayang semalam suntuk yang rutin dilakukan di daerah itu.

Pernah suatu waktu Sapardi ingin membelikan Putra sepatu di kawasan Malioboro, Putra kembali menunjukkan betapa kepincutnya ia terhadap Wayang. Si bungsu tidak mau dibelikan sepatu sebelum dibelikan Wayang oleh bapaknya. “Setiap saya pergi ke Malioboro Putra itu selalu minta dibelikan Wayang paling sedikit lima,” papar Sapardi menceritakan. Hal ini membuat hampir seluruh pedagang Wayang di kawasan Malioboro pun mengenal Putra karena mempunyai pelanggan cilik yang selalu minta dibelikan Wayang. Sang ayah sempat berpikir jika kesenangannya pada Wayang ini hanya main-main saja, namun Putra justru menunjukkan keseriusan pada hobinya itu. Bermula dari agenda PEPADI Bantul yang sedang mencari Dalang cilik yang masih berada di kelas 1 Sekolah Dasar. Putra pun memasuki tahap baru dalam persinggungannya dengan Wayang. Sebuah tahap dimana minat Putra terhadap Wayang benar-benar diuji.

Pembinaan terhadap dirinya pun dimulai. Di Bantul, Putra diarahkan ke tempat Bapak Duaroyo bersama delapan anak lainnya. Anak-anak ini pertama kali diperkenalkan pada tokoh Punakawan dalam Wayang kemudian mulai diberitahu tentang jalan ceritanya. PEPADI Bantul pun kemudian menyarankan agar pembinaan terhadap Putra lebih ditingkatkan lagi karena melihat bakat Putra yang sangat menonjol untuk menjadi Dalang. Sapardi pun menyerahkan Putra kepada Hadi Sutoyo untuk dibina lebih lanjut, “Tolong pak, anak saya ini kayaknya punya bakat nDalang, tolong dibina.” Momen pertama Putra mentas terjadi kala ia diajak menemani Dalang Warjo yang merupakan Dalang terkenal di daerah itu. Putra diminta menjadi Dalang cilik yang membuka penampilan Warjo selama 1 jam. Permintaan tersebut disambut gembira oleh Putra tanpa ada rasa canggung sedikit pun. Bocah ini justru sangat bersemangat mendapat kesempatan tampil sebagai Dalang untuk pertama kalinya.

Semangat yang dimilikinya itu menjadi suatu ciri khas yang hingga kini kental melekat dalam dirinya. Hal tersebut kembali ia tunjukkan pada ajang Festival Dalang Bocah Nasional (FDBN) 2011 di pelataran Museum Bank Indonesia. Tampil dengan gagrag Yogyakarta, Putra membawakan Lakon ‘Seno Bumbu’ yang menceritakan pertarungan antara Bima bersama para Pandawa dengan Prabu Baka yang gemar memakan manusia. Lakon sederhana ini sengaja dipilih Nono Sugiatno, pembina sekaligus Penggendang Pengiring penampilan Putra, dianggap cocok bagi tubuh kecil dan jemari mungilnya. Menurut Nono, potensi paling menonjol yang dimiliki Putra terletak pada kemahirannya memainkan Suluk. Anak bimbingannya tersebut dinilai sangat mudah untuk menyesuaikan nada suaranya dengan iringan gamelan. Decak kagum para penonton pun keluar sebagai respon terhadap aksi yang disajikan Putra. Meski masih berusia 13 tahun, penampilan ini sudah menyerupai kemampuan orang dewasa.

Diakui Nono jika Putra tidak memiliki jadwal khusus sebagai metode latihannya. Nono hanya kerap mengingatkan Putra agar sesering mungkin memegang Wayang sambil memainkannya, agar lebih bisa menjiwai karakter tokoh-tokoh Wayang. “Paling tidak setiap 10-15 menit, kamu harus megang Wayang,” ujarnya menuturkan. Karena pada dasarnya anak ini memang menyenangi Wayang, Nono tidak menemui kesulitan berarti dalam membimbingnya. Berdasarkan pengakuannya, Putra dianggapnya merupakan murid terbaik yang ia miliki karena selain berbakat, ia juga memiliki kegigihan dan tingkat kecintaan sangat tinggi terhadap Wayang.

Dalam kesehariannya, penyuka tokoh Brotoseno yang berkarakter jujur dan bijaksana ini lebih suka menghabiskan waktu di rumah sambil membuka laptop pemberian ayahnya. Sapardi sengaja membelikan laptop agar anaknya itu bisa mencari berbagai informasi soal Wayang dan menyaksikan rekaman-rekaman Wayang. Lokasi rumah yang berjauhan tidak begitu mendukung Putra sering bergaul dengan teman sebayanya. Meski sesekali ia menyempatkan bermain, namun ia lebih memilih aktif di hadapan layar laptop seraya mencari informasi apapun perihal Wayang, atau memainkan koleksi Wayang yang terus dikumpulkannya semenjak ia masih sangat kecil.

Ketika ditanya langsung mengenai keinginannya ke depan, Putra seakan tidak mau lepas dari dunia Wayang dan Pedalangan. Masih duduk di bangku SMP, ia sudah mempunyai bayangan tentang masa depan yang cukup terperinci. Penyuka sepakbola ini berharap selepas SMP nanti ia bisa mengambil jurusan Seni Pedalangan di SMKI Yogyakarta –sekolah menengah yang bergerak dalam bidang seni budaya, dilanjutkan dengan kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada jurusan yang sama. Kelak pengagum Lionel Messi ini ingin menjadi Dosen Pedalangan supaya bisa memperdalam interaksinya dengan Wayang sekaligus membudidayakan pengetahuan tersebut kepada khalayak luas. “Saya ingin tetap menjaga dan melestarikan Budaya Wayang agar tetap eksis sampai kapan pun,” ungkapnya tegas seraya memainkan Wayang meski baru saja usai mentas. Sebuah komentar dewasa dan mulia bagi bocah belasan tahun seperti Putra.

thin

Share Button

Leave a Comment