FDB Memperkuat Basis Pendidikan Multikultur

cover

Berbagai berita dan fakta tentang konflik, kerusuhan, tawuran, perkelahian antaretnis dan antarumat beragama menerpa bangsa ini. Belum lagi diimbuhi dengan kejahatan etis dan moral berupa korupsi, kebiadaban kriminal terhadap anak, dan sederet warta keburukan yang sangat memprihatinkan. Semua ini menandakan adanya pengeroposan dan menguatnya kekuatan anti perbedaan (anti kebhinnekaan) serta tergerusnya nilai-nilai kebajikan bangsa yang juga berarti nilai-nilai moral kearifan lokal.

Seluruh warga negara dan bangsa Indonesia dapat dipastikan tahu tentang Bhinneka Tunggal Ika yang maknanya “kita bersatu karena kita berbeda”; sebuah semboyan wujud integrasi nasional sebagai basis keragaman budaya atau multikultural bernama Indonesia. Keragaman ini adalah keniscayaan dan kemestian sejarah; tak seorangpun yang bisa menolak. Mengingkari keragaman atau kebhinnekaan ini berarti tidak mengakui landasan sejarah dan fakta atas multikultur terbentuknya negara Indonesia.

Salah satu strategi pendidikan yang dipraktikkan di Indonesia adalah pendidikan multikultur. Yaitu pendidikan yang mendorong dan membangun pola pikir dan pola sikap untuk saling mendengar, saling bertukar pikiran, berdialog dan saling belajar tanpa paksaan. Pendidikan ini tidak menolak perbedaan tetapi yang ditolak adalah menyingkirkan dan membeda-bedakan antara pihak satu dengan lain yang tujuannya untuk ketidakharmonisan dan memecah kerukunan.

Dalam konteks inilah patut diapresi atas terselenggarakannya Festival Dalang Bocah Tingkat Nasional 2015 yang diselenggarakan dan di bawah koordinasi Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Pusat. Festival ini terbukti mampu menjadi media alternatif mewujudkan pendidikan multikultur melalui kegiatan apresiasi, kreasi, penikmatan, dan pengkajian nilai-nilai dari pagelaran wayang oleh dalang bocah.

Secara historis, wayang di Indonesia telah tersebar di berbagai wilayah dan di tempat masing-masing itu wayang dibentuk dan disesuaikan dengan budaya setempat. Wayang terbukti juga menjadi pengejawantahan atau representasi masyarakat setempat. Contohnya, wayang Sasak dari Nusa Tenggara Barat (NTB) berbeda dengan wayang golek dari Sunda, berbeda dengan wayang gagrak Solo dan Jogja, juga berbeda dengan wayang-wayang di daerah lain. Setiap wayang yang tumbuh dan berkembang di masing-masing tempat, menjadi alat untuk menampung nalar-budaya lokal dan sekaligus menyatukan.

Bagaimana wayang mampu menyatukan keragaman dan perbedaan? Seperti kita ketahui, salah satu sumber kisah wayang adalah Mahabharata atau Ramayana. Versi ini lantas dikemas, ditafsirkan, dan di”gaya”kan menurut sikap mental masyarakat. Hal ini mencakup upaya bagaimana kebudayaan tertentu mengekspresikan suatu nilai bagi warga pendukungnya.

Di dalam Festival Dalang Bocah (FDB) yang diwakili oleh para dalang anak-anak dari berbagai kabupaten dan provinsi, keragaman itu terwujud dan saling menerima khazanah budaya yang berbeda. Sejak usia bocah, para dalang telah menjadi aktor kebudayaan untuk membuka peluang bagi toleransi dan harmonisasi. Kebhinnekaan pun terangkai, dari panggung pagelaran ke panggung kehidupan sosial…

Share Button

Leave a Comment