- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Ke-Bhinneka-an: Wayang di Tengah Peradaban Massa
Melepas wayang dari akarnya, yaitu masyarakat itu sendiri, tentu akan membuat wayang menjadi kehilangan makna, fungsi, dan nilainya.
Globalisasi dan teknologi berperan besar bagi perubahan dunia dewasa ini. “Y Generation” sebagai sebutan bagi generasi anak masa kini sangat lekat dengan perkembangan teknologi yang terkapsulkan pada sebuah kotak kecil bernama telepon pintar. Sementara di sisi lain, dunia realitas yang masih dikuasai generasi “baby boomer” di era 1950-an masih disibukkan dengan problematika kebangsaan dan cita-cita pendirian negara Indonesia sebagai negara dengan budaya bangsa yang sangat beragam.
Miris sesungguhnya melihat lompatan generasi ini. Perang kebudayaan di tengah peradaban massa yang begitu majemuk bisa menjadi hal yang terwariskan secara tak disengaja kepada generasi anak-anak masa kini. Itu kalau problematika kebangsaan hari ini tak mampu diselesaikan oleh generasi orang tua yang memang sedang memegang tongkat peradaban di tangannya.
Inisiatif PEPADI menggelar Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda menjadi salah satu upaya menjawab persoalan tersebut. Anak-anak sebagai pewaris sah negara-bangsa ini dilekatkan pada budaya tradisi, khususnya wayang dan seni pertunjukan. Mereka mempelajari tentang budaya tradisi, sekaligus menghargai perbedaan yang ada di antara mereka, baik perbedaan gaya permainan maupun perbedaan latar belakang sekalipun.
Bagi para dalang bocah yang mendalami wayang kulit maupun wayang golek, mereka dapat melakukan perbandingan yang sejajar dengan apa yang mereka pahami tentang gaya pertunjukan di panggung oleh sang dalang. Namun, perbandingan itu tak akan bisa dilakukan secara langsung kepada Wayang Banjar dari Kalimantan Selatan misalkan, karena adanya perbedaan gaya permainan dan bahkan ketukan serta irama. Atau, perbandingan yang lebih jauh lagi, dengan Wayang Sasak asal Lombok yang mengacu kepada referensi yang berbeda, yaitu Serat Menak.
Anak diharuskan untuk melihat perbedaan. Dan kunci untuk dapat menerima perbedaan dan ke-bhinneka-an sebagai sebuah kekayaan budaya adalah mau mendengarkan dan mau memahami terhadap sesuatu yang berbeda dari dirinya. Agar ketiks mereka menjadi seorang dalang di masa dewasanya, anak-anak ini dapat memahami dimana mereka berdiri sebagai entitas bangsa, dan bagaimana mereka mengambil sikap di tengah pertempuran kebudayaan dunia.
Menariknya, festival ini digelar di dua museum yang berada di kompleks Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta. Malam minggu, ketika keluarga-keluarga kecil dan para remaja tanggung menghabiskan waktu di sekitaran kompleks taman, disinilah pertunjukan wayang dipertaruhkan di tengah peradaban massa. Menarik atau tidak bagi mereka yang kebetulan berkunjung ke kompleks taman, itu bukan soal. Yang utama, wayang tetap hadir di tengah pertempuran kebudayaan yang semakin sengit.
Giulia, seorang perempuan asal Italia yang sedang melakukan studi dan penelitian tentang wayang, justru mengajak kita untuk melihat langsung seperti apa pertempuran kebudayaan itu di tengah peradaban massa. Simak videonya di bawah ini.