- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Wisnu Kurniawan: Ingin Memiliki Hati Seputih Kulit Anoman
Gesekan kebab nan menyayat rasa, membuka penampilan Wisnu Kurniawan siang di hari terakhir Festival Dalang Bocah 2015. Mewakili Jawa Timur, penampilan Wisnu justru terlihat lebih kalem. Alunan musik pengiring sangat mendayu, mengajak penonton untuk duduk tenang menatap pakeliran.
Bocah 13 tahun ini membawakan lakon Salya Gugur. Prabu Salya adalah sosok berkepribadian santun, luhur, dengan jatidiri yang kokoh. Prabu Salya terpaksa terlibat dalam Baratha Yudha di pihak Kurawa karena terlanjur menyanggupi permintaan Duryudhana. Pun demikian, Prabu Salya tetap menaati janjinya sepenuh hati. Pemilihan lakon dilatari pandangan keteladanan yang dimiliki Prabu Salya dapat menjadi contoh perihal kesantunan dan tanggungjawab.
Bocah kelahiran Tulungagung ini memiliki kemampuan sabet cukup baik. Terbukti dari beberapa adegan yang dimainkannya, Wayang seakan tidak mau lepas dari genggamannya meski berulang kali ia lemparkan. Karakter vokal yang dimiliki memang tidak terlalu menggelegar, namun ia mampu memainkan vibra suara dengan cukup apik.
Pengagum tokoh Anoman ini mengaku mulai mendalang sejak kelas tiga Sekolah Dasar. Ia baru mulai mentas setahun kemudian. Sedangkan Festival Dalang Bocah 2015 ini merupakan ajang festival perdananya. Perkenalan Wisnu dengan Wayang dimulai sejak kecil, kala ia melihat sebuah pertunjukan Wayang di kampungnya. Semenjak itu Wisnu kepincut lalu menggeluti Wayang dengan serius. Wisnu ingin seperti Anoman yang memiliki tanggungjawab tinggi. “Pingin punya umur panjang kayak Anoman. Dia juga punya hati yang baik. Makanya kulitnya digambarkan putih. Itu gambaran hatinya yang tulus.”
Wisnu mengaku betul-betul jatuh cinta dengan Wayang. Baginya, Wayang bisa menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Jauh berbeda dengan mainan anak-anak yang banyak dimainkan sekarang. Bocah Tulungagung ini pun kerap bermain Wayang dengan teman-teman yang selalu mendukungnya untuk mendalang. Dukungan tersebut bukan hanya datang dari temannya, tapi juga dari sekolahnya yang sangat senang mana kala Wahyu memberi tahu ia hendak ikut FDB 2015 di Jakarta.
Meski juga menyukai sepakbola, anak didik Sanggar Budi Luhur ini mengaku lebih memilih Wayang. Baginya sepakbola hanyalah aktivitas olahraga untuk melatih nafas. Teknik mendalag yang disukai Wisnu adalah catur yakni teknik bahasa dan wacana yang diucapkan dalam pakeliran. Kesukaannya pada almarhun Ki Narto Sabdo adalah karena Ki Narto dalam memainkan sastra dalam pertunjukannya. “Ki Narto memainkan sastranya datang dari hati, betul-betul dirasakan, Mas,” ujarnya.
Tulungagung memang sarat pecinta Wayang. Perkembangan Wayang di daerah ini cukup bagus. Antusiasme masyarakat pada Wayang sangat tinggi. Tak pernah pertunjukan Wayang sepi penonton di daerah tersebut. Dukungan terhadap Wayang di Jawa Timur juga terbilang sangat baik. Mulai dari Pemerintah tingkat Provinsi sampai Kabupaten beserta Dinas terkait, memberi dukungan terhadap perkembangan Wayang dan pedalangan.
Wisnu menuntut ilmu mendalang di Sanggar Budi Luhur di bawah asuhan Hadi Sanyoto. Saat ini Sanggar tersebut memiliki murid cukup banyak, lebih dari 50 orang. Di sanggar Budi Luhur, para calon Dalang digembleng dan dibina dengan etika dan budi pekerti. Hadi Sanyoto yang juga menjadi pengasuh Sanggar Budi Luhur beranggapan kalau seorang Dalang harus memiliki karakter yang kuat.
“Kalau karakter sudah terbina, akan lebih mudah diarahkan,” jelasnya. Budi Luhur berupaya membangun acuan dasar agar calon Dalang memahami betul apa yang diucapkan saat beraksi. Hadi menekankan pendidikan Dalang pada unsur sastra. Menurutnya sastra menjadi bekal penting di mana asal usul dari sebuah cerita dalam Wayang terpaparkan. “Jangan sampai anak ngoceh nggak ada artinya.”
Tentang Wisnu sendiri, Hadi membenarkan jika anak itu memang memiliki kemauan yang keras. Keuletannya dalam belajar mendalang menghantarkannya meraih juara pertama di tingkat Provinsi. Hadi juga merasa beruntung mendapat dukungan moril dan materil dari dinas pendidikan dan pemerintah daerahnya. “Alhamdullillah, Pemerintah Jawa Timur sangat mendukung pelestarian Wayang, Mas” ujarnya. Mulai dari kegiatan sehari-hari sampai festival seperti ini, Pemerintah selalu berpartisipasi.”
Kondisi Tulungagung yang memiliki begitu banyak pecinta Wayang sendiri dianggap Hadi sangat membantu pekerjaannya. “Kalau di rumah (Tulungagung), pengaruh Wayang semakin meningkat. Banyak murid sekolah formal yang masuk Sanggar untuk pendidikan ekstra karena Wayang dianggap sangat berguna,” ucap Hadi menjelaskan kondisi Pewayangan di Tulungagung. | Marthin Sinaga