Tim Pengamat FDB 2015: Anak Harus Dikondisikan dengan Benar

penjurian (1)

Festival Dalang Bocah (FDB) tingkat nasional tahun 2015 telah usai digelar. Penilaian dan penghargaan telah dilakukan dan diberikan kepada seluruh peserta dalang bocah oleh tim pengamat FDB 2015 yang terdiri dari Trisno Santoso, Udreko, Suwerdi, Tantan Sugandi dan Sudarudin. Di luar itu, sejumlah evaluasi diberikan oleh tim pengamat FDB 2015, baik kepada para pembina dari peserta, maupun kepada gelaran dunia dalang bocah di Indonesia.

Trisno Santoso, ketua tim pengamat FDB 2015, memberikan tiga poin besar atas evaluasi tersebut. Pertama, tentang pemilihan lakon dan bagaimana membungkus lakon yang disesuaikan dengan dunia anak-anak. Trisno dan seluruh tim pengamat memberikan catatan penting terhadap lakon “Kumbakarna Gugur” yang tidak melakukan pilihan adegan yang pas bagi anak. Dalam lakon yang sesungguhnya, kematian Kumbakarna memang dilakukan secara perlahan; dari tangannya, kemudian berlanjut ke organ tubuh lainnya karena kesaktian yang luar biasa dari tokoh Kumbakarna. “Harusnya, adegan itu tidak perlu dilakukan oleh seorang dalang bocah. Harus kreatif, cukup diceritakan bahwa Kumbakarna gugur,” tukas Trisno saat ditemui usai acara penutupan FDB 2015.

Betapa tidak, kematian sadis dari tokoh Kumbakarna bisa saja mengilhami seorang anak untuk menduplikasi kekerasan tersebut; hal yang tentu sangat dihindari oleh ajang sekelas FDB. Trisno mengakui, kreatifitas membutuhkan inovasi yang sedikit keluar dari pakem cerita. Tapi justru tim pengamat tidak melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang terlarang, selama demi kebaikan anak-anak sendiri. Kreatifitas semacam ini pun bukan kali pertama dilakukan.

penjurian (2)Kemudian yang kedua, tim pengamat memberikan catatan tentang pembentukan karakter sang dalang bocah. Ini menjadi penting, mengingat konsepsi “dalang kuasa” bisa menjadi fondasi negatif bagi pemahaman anak akan dalang. Bagi Trisno, dalang harus menjadi seseorang yang bisa menjadi contoh di masyarakat. Pasca ajang seperti FDB inilah, pembentukan karakter anak yang sesungguhnya dimulai; terutama bagi mereka yang berhasil meraih penghargaan baik. “Jangan sampai sombong, ndak mau kenal teman dalang bocahnya lagi karena dapat penghargaan. Atau ndak kenal gurunya karena sudah berguru ke tempat lain,” sahut Trisno.

Masukan ketiga terkait dengan evaluasi sebelumnya; pasca ajang. Tim pengamat seringkali menemukan kekurangan justru bukan pada penyelenggaraan acara, namun lebih kepada pasca acara. Harus diingat bahwa acara seperti FDB merupakan ajang pendidikan dan regenerasi; dan bukan sekedar acara festival tahunan atau perlombaan. Tantan Sugandi, anggota tim pengamat mencontohkan impiannya tentang jambore dalang bocah nusantara sebagai ajang sambungan dari FDB dengan kepersertaan yang lebih luas. Selain memperkaya referensi pewayangan antara daerah bagi anak-anak, ajang sambungan semacam ini semakin mempererat silaturahmi antara para dalang bocah sendiri; para orang tua; dan para pengampu yang dapat bertukar pikiran atau melakukan garapan bersama. “Membentuk karakter anak itu harus dari membentuk lingkungan. Kalau lingkungan sinergis, memberikan tauladan tentang kebersamaan, dan mau saling berbagi serta menghargai; niscaya, kita akan memiliki generasi penerus yang jauh lebih baik dari kehidupan kita hari ini,” tandas Tantan.

Semoga saja… (PJD)

Share Button

Leave a Comment