Mudjiono: Dalang Bocah Perlu Wadah Tersendiri Untuk Berkembang

Pertama-tama, saya ingin menghaturkan terima kasih kepada Bu Waridi yang telah meluangkan waktunya untuk menemani saya bertemu sosok penting dalam dunia pedalangan putra bungsunya dan juga para dalang bocah di Surakarta: Mudjiono.

Sekitar pukul satu siang, saya sampai di sebuah rumah khas Jawa berpagar bambu. Pada pagar bambunya, tersemat sebuah tulisan besar berwarna hijau: ‘Sanggar Sarotama’. Sekilas saya edarkan pandangan ke seluruh halaman. Dua orang lelaki tengah sibuk mengecat bilah-bilah atap seng. Bu Waridi berbicara sebentar dengan salah seorang lelaki itu, memastikan orang yang saya tuju sedang ada di sanggar.
Buat saya, keinginan untuk sampai di tempat ini sebetulnya muncul sejak bulan Juli 2009 yang lalu. Waktu itu saya kebetulan menjadi salah satu penonton pada acara Temu Dalang Cilik 2009 di Taman Budaya Surakarta. Beberapa dalang bocah yang tampil pada acara tersebut saya lihat juga menjadi peserta pada Festival Dalang Bocah 2009. Saya mendengar nama Sanggar Sarotama dari beberapa bocah yang ikut menonton dan bermain wayang pada jeda-jeda pementasan peserta Temu Dalang Cilik tersebut. Dorongan untuk bisa sampai pada kunjungan ini sesungguhnya cukup besar, sebab sejauh pengetahuan saya, tidaklah banyak sanggar-sanggar seni yang memusatkan kegiatan belajarnya untuk tujuan melatih dalang bocah.

Lelaki yang kemudian saya panggil Pak Mudji ini sedang duduk di balik alat gamelan gender ketika mempersilakan saya masuk. Di belakangnya seperangkat gamelan tertata rapi. Saya langsung menghampirinya. Sejenak saya melihat-lihat ruangan sanggar yang adem, karena angin bisa keluar masuk dengan leluasa. Pendopo khas Jawa di bagian depan dibiarkan kosong tanpa perabot, sehingga anak-anak bisa bebas berlarian, berlatih sambil bermain. Di sudut kiri ruangan sebuah kelir berdiri menyebelahi sekotak wayang. Bocah-bocah mulai sibuk mengeluarkan tokoh-tokoh wayang satu per satu. Beberapa dari tokoh wayang kancil yang dipentaskan di Gedung Kautaman.

“Saya mulai melatih anak-anak sejak tahun 1985”, Pak Mudji membuka cerita. Dia mengawali kegiatan melatih anak-anak dengan menjadi pelatih karawitan di sekolah-sekolah dasar di wilayah Surakarta. Lelaki lulusan ASTI Surakarta Jurusan Karawitan tahun 1984 ini belum secara khusus melatih mendalang. Hanya saja, pada tahun 1985 itu, salah seorang kakaknya menitipkan anaknya kepada Pak Mudji untuk dilatih mendalang dan karawitan. Inilah yang kemudian menjadi langkah paling dini untuk merintis keseluruhan perjalanannya melatih para dalang belia hingga hari ini.

Menurut pak Mudji, pada mulanya, mendalang pada usia belia hanya menjadi wilayah bermain bagi anak-anak keturunan dalang. Minat itu muncul karena dalam keluarga dalang biasanya lingkungan yang mendorong para bocah menyukai wayang terbangun sangat kuat. Perlahan, muncul perkembangan. Dunia pedalangan mulai dilirik para bocah yang bahkan lahir dalam keluarga yang sama sekali tidak terkait dengan kesenimanan. Angka peminatnya pun kian meningkat.

Bagi suami Endang Supatma ini, ketertarikan yang besar dari para belia itu kemudian menjadi semacam panggilan. Naluri gurunya tak bisa mendiamkan para bocah dengan kemauan besar untuk belajar. Satu hal yang diyakininya adalah bahwa melatih mendalang ini tidak bisa hanya menjadi sampingan. Ini sebuah wilayah kerja yang harus ditangani sungguh-sungguh. Melatih mendalang harus memperoleh perhatian dan dukungan penuh. Dari sisi si bocah dan orang tuanya, pilihan belajar mendalang tidak bisa menjadi sekadar sebuah pilihan alternatif, ketika si bocah hanya bermain tanpa tujuan. Belajar mendalang tidak bisa hanya sebagai pilihan untuk memanfaatkan waktu luang. Keyakinan inilah yang ditekankan Pak Mudji kepada para muridnya sekaligus para orang tua yang menitipkan anaknya untuk berlatih di bawah asuhannya.

Tahun 1993, Sanggar Sarotama resmi berdiri. Namun, tidak langsung didaftarkan ke Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dispora). Alasannya,”Saya tidak mau saya sudah terlanjur mendaftarkan nama sanggar, tapi pada kenyataannya belum ada kegiatan yang berkelanjutan. Setelah setahun berdiri, dan kegiatan belajar memang benar-benar telah berjalan, saya mendaftarkan Sanggar Sarotama ke Dispora”, ujar lelaki kelahiran Malang, 10 April 1954 ini.

Pada tahun 1987 – 1989, pak Mudji sempat membatasi hanya melatih para remaja. Tetapi, dia kemudian menyadari, ternyata itu jauh lebih sulit. Menjadi dalang ternyata perlu kesungguhan sejak dini. Ketika seseorang telah memasuki masa remaja, cukup sulit untuk meminta perhatian dan konsistensi mereka dalam berlatih. Dari dua tahun melatih remaja ini, dia melihat, bahwa anak usia lebih dini lebih bisa memusatkan diri, meski diakuinya bahwa membuat bocah-bocah itu lebih terfokus juga bukan hal yang mudah. Pak Mudji pun memutuskan untuk memusatkan diri melatih anak-anak.

Dalam mengelola sanggar Pak Mudji tidak bekerja sendirian. Beberapa personil juga terlibat untuk melatih tari dan karawitan. Misal, sambil berbincang saya melihat di salah satu sudut ruang sanggar, Mas Rasina sedang melatih titi laras dengan menggunakan gender. Mas Rasina adalah pelatih vokal dan karawitan.

Mengenai melatih mendalang sendiri, lelaki dengan lima putra ini menjelaskan bahwa dia sengaja tidak membuat satu kurikulum yang baku lagi kaku, seperti halnya di sekolah. ”Mendidik anak itu harus lentur. Tidak setiap anak bisa diperlakukan sama. Saya harus melihat kapasitas anak juga. Ada anak yang dalam waktu sebulan sudah terampil memainkan wayang sekaligus dengan titi laras yang tepat. Ada anak yang bahkan empat bulan atau lebih masih terus berlatih titi laras”, Pak Mudji menerangkan strateginya dalam mendidik para cantrik. Pak Mudji mencontohkan hal yang terjadi dengan salah seorang siswa didiknya yang beberapa minggu tidak bisa melanjutkan latihan karena pindah rumah. Ketika si anak kembali datang untuk berlatih, kemampuan vokalnya mulai terganggu. Kemampuan si anak untuk menyesuaikan suaranya dengan laras gamelan menjadi berkurang. Mas Rasina perlu mengulang dari awal lagi membangun kemampuan si anak. Hal semacam ini kerap terjadi. Namun tidak lantas membuat Pak Mudji putus asa dan merasa kelelahan. Justru baginya, ini adalah tantangan. Satu hal yang sangat disukainya dari para anak didiknya adalah bahwa mereka rajin dan konsisten berlatih. Pak Mudji merasakan kemauan yang sangat besar dalam diri mereka dan dia tak ingin kemauan besar ini lepas terbengkalai begitu saja.

Penampilan Magistra Yoga Utama pada Festival Dalang Bocah 2009 juga tidak bisa dilepaskan dari peran Pak Mudji. Berkat kerjakeras dan tangan dingin Pak Mudji dalam menggarap pementasan wayang kancil untuk festival tersebut, Yoga berhasil menggondol gelar penyaji terbaik. Lantas mengapa wayang kancil? “Wayang kancil sesungguhnya wayang yang paling tepat untuk diperkenalkan kepada dalang bocah. Bukan saja tentang ceritanya yang sesuai dengan karakter bocah, melainkan dari aspek cerita, wayang kancil memberi ruang keleluasaan yang jauh lebih besar untuk menampung kreativitas bocah, dibandingkan cerita wayang purwa yang telah memiliki pakemnya. Cerita dalam wayang kancil bisa digagas dengan melibatkan pendapat maupun nalar bocah serta lebih terbuka terhadap banyak perubahan. ”Mungkin ke depan, kami juga akan lebih banyak mengembangkan wayang kancil”, Pak Mudji menjawab. Memang sedikit disayangkan bahwa keberadaan wayang kancil justru terkesampingkan dalam dunia pedalangan bocah. Menurutnya, wayang kancil perlu memperoleh lebih banyak ruang dalam dunia pewayangan kita, terlebih ketika melibatkan para dalang bocah. Mengenai perkembangan dunia pedalangan bocah, pak Mudji menyampaikan bahwa sekarang dunia pedalangan sudah cukup diminati dibanding ketika di awal dia mendirikan sanggar. Namun, masih banyak hal perlu dibenahi maupun diperhatikan. Bagi Pak Mudji, pedalangan bocah perlu memperoleh perhatian khusus dari Pepadi sebagai salah satu usaha merawat keberlanjutan tradisi. Misal, dengan membuat kalender tetap pementasan bagi para dalang cilik, atau membuat sebuah agenda kegiatan yang bisa memberi kesempatan bagi para bocah pendalang ini saling bertukar pikiran, pengalaman dan bermain bersama, misal lokakarya untuk dalang bocah. Dengan demikian, para dalang bocah tidak hanya berjumpa untuk semata-mata berlomba. Sampai di sini saya harus rela menghentikan perbincangan. Para calon dalang itu telah menanti Pak Mudji. Sebelum berpamitan, saya ikut menyaksikan Pak Mudji memainkan kendhang, mengiringi salah satu muridnya berlatih sabet. Baru beberapa gerakan dilakukan, si bocah berhenti. Dengan tatapan polos dia menatap pak Mudji, seolah berkata, “Saya baru belajar segini”. Tanpa menunggu si bocah berkata-kata, seperti memahami pikiran si bocah, Pak Mudji bertanya,”Belajarnya baru sampai ini,ya?”. Si bocah mengangguk dengan mata lugu. Pak Mudji tersenyum. Saya langsung jatuh trenyuh. Saya membayangkan betapa berlikunya jalan yang harus ditempuh untuk bisa membimbing bocah sampai menjadi dalang. Semua proses ini bukan lagi melatih, tetapi lebih menjadi proses mendidik.

Bercermin dari pengalaman Pak Mudji, bisa dilihat bahwa bagaimanapun dunia pedalangan bocah memiliki keunikannya sendiri. Oleh karenanya, sudah semestinya kita memberi wadah yang tepat untuk mereka tetap berkembang. Apakah kita telah cukup lebar membuka hati dan pikiran kita untuk itu? (Grey)

Share Button

Leave a Comment