Faqih Trisera Fil Ardi: Orang Indonesia Harus Berbudaya

Faqih Trisera Fil Ardi (1)

Manusia boleh berencana namun Tuhan yang menentukan. Hal itu terbukti, pada saat Prabu Jarasanda dari Kerajaan Giribajra akan mengadakan sesaji kala rodra yang mensyaratkan tumbal 100 raja, rencana tersebut gagal total. Hamsa dan Jimbaka, dua raja andalan Prabu Jarasanda gugur di tangan Baladewa, sementara 97 raja yang dipenjarakan Prabu Jarasanda berhasil dibebaskan oleh Pandawa dan secara sukarela bergabung dengan tiga raja untuk mendukung terlaksananya sesaji raja suya yang akan digelar oleh Puntadewa. Adapun Prabu Jarasanda pada akhirnya gugur di tangan Bima.

 

Faqih Trisera Fil Ardi mendapat sambutan meriah dari para pengunjung Festival Dalang Bocah VI, 2015 setelah membawakan lakon Sesaji Raja Suya. Sabetan Faqih terlihat mantap. Beberapa atraksi putar anak panah dan para tokoh wayang yang dilakukan Faqih mengundang decak kagum dan keprak yang dibuat Faqih pun terdengar mantap meskipun tali keprak Faqih putus.

Ditemui seusai acara, Faqih yang kini duduk di kelas IX SMP N 139 Jakarta, menjelaskan jika ia mulai mengenal wayang sejak kecil. Kecintaan Faqih pada budaya Jawa dimulai sejak ia bayi. Tanpa sadar, Faqih kerap ditemukan sedang menangis apabila mendengar musik dangdut dan akan segera tenang apabila mendengar campur sari. Awalnya, sang ibu tidak percaya. Namun, begitu beberapa kali dicoba terbukti Faqih memang hanya dapat tenang apabila mendengar alunan campur sari.

Bukan hanya itu, Faqih juga kerap memainkan daun nangka sebagai ganti tokoh-tokoh wayang ketika ia masih kecil. Faqih bahkan kerap meminta pajangan sendok-garpu bertangkai wayang setiap kali mengunjungi rumah kerabat yang kebetulan memilikinya. Melihat minat serta bakat anaknya, sang ayah, Kabul Handoko, segera memasukkan Faqih ke Sanggar Saeko Budoyo yang berada di Komplek Taman Mini Indonesia Indah pada usia 3 tahun. “Awalnya, Faqih itu nggak mau belajar. Setiap diajari pasti buang muka, tapi kalau dia disuruh pegang wayang, dia langsung mau dan langsung memainkan wayang-wayang itu,” ujar Pak Kabul.

Faqih Trisera Fil Ardi (2)Akibat kecintaan Faqih pada wayang, sang ayah pun harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli wayang. “Sampai pernah suatu ketika, Faqih meminta dibelikan wayang dan kebetulan uang saya itu kurang, tapi penjualnya percaya saja dan malah menyuruh saya untuk membawa beberapa wayangnya. Padahal, bapak penjualnya itu kenal pun tidak dengan saya,” lanjut Pak Kabul. “Anak saya yang lain kadang suka meri, katanya Faqih lagi, Faqih lagi,” cerita Pak Kabul disusul derai tertawa.

Demikian besar cinta Faqih pada wayang, tak heran jika setiap kali tidur ia harus ditemani wayang-wayangnya. Meski demikian, wayang yang paling Faqih sukai adalah gunungan. “Sebab di dalam gunungan sudah memuat segala sesuatunya. Saya kadang suka gemes kalau lihat wayang-wayang yang lain tapi kalau sudah lihat gunungan, hati rasanya ayem, tentrem..damai banget,” jelas Faqih.

Ketrampilan Faqih diperoleh bukan hanya dari sanggar tetapi juga dari menyimak vcd wayang maupun mengaplikasikan teori yang diberikan sang ayah. “Ayah saya bukan dalang tetapi dia hobi wayang dan teori yang ayah saya berikan itu pasti,” lanjut Faqih.

Ayah Faqih sendiri sebenarnya cukup terheran-heran dengan kemampuan Faqih. Baginya, Faqih dapat berkembang berkat ‘penemu-nya’ sendiri, dalam arti Faqih berhasil mendapatkan kunci tehnik-tehnik tertentu hanya dengan menyimak vcd. Tak heran, meski tak berguru langsung pada dalang tertentu tapi Faqih dapat dengan fasih mengikuti kunci gerakan-gerakan tersebut. Beberapa dalang yang kemudian hari sempat didatangi Faqih pada akhirnya sering manganggap Faqih sebagai muridnya meski tidak nyantrik secara langsung.

Bagi Faqih, ketrampilan yang ia peroleh bukan datang serta merta. Faqih sempat bercerita jika ia memiliki luka di tangan yang kemudian dianggap sebagai pertanda turunan dalang sabet oleh beberapa orang tua. “Mbah saya dari ibu juga dalang, meski saya hanya keturunan jauh,” ungkap Faqih. Berkat kecekatannya, bahkan mantan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono sempat menitikkan air mata ketika menyaksikan Faqih mendalang. Saat itu Faqih masih duduk di kelas dua SD.

Untuk mengimbangi ketrampilan lahiriahnya, Faqih juga membekali diri dengan pasa senen kemis, mutih, dzikir dan doa malam. “Kalau pati geni belum pernah karena berat,” kata Faqih sambil tertawa. Faqih sendiri selalu ingat ucapan Pak Manteb, jika kepercayaan tak boleh mengalahkan keyakinan. Dan bagi Faqih, tidak ada hal yang paling ia harapkan kecuali dapat hidup mulia.

Satu cita-cita Faqih lainnya adalah dapat melihat orang Indonesia menjadi lebih berbudaya. “Jalannya bisa lewat apa saja, seni tari, wayang atau lainnya..yang penting Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju.” (Cin)

Share Button

Leave a Comment