- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Berjuang Mengawali Demi Kearifan Lokal (Karte Manik Dadan Kuswara)
Tidak banyak orang yang mengetahui kalau Wayang juga terdapat di daerah selain Jawa. Meski kalau ditilik dari nilai-nilai maupun pesan moral yang hendak disampaikan relatif sama dengan Wayang Purwa yang berasal dari Jawa, beberapa daerah juga memiliki kebudayaan Wayangnya sendiri. Penampilan pembuka di hari terakhir Festival Dalang Bocah Nasional (FDBN) 2011 misalnya. Pada kesempatan tersebut, Provinsi Nusa Tenggara Barat mendapat giliran menunjukkan karya asli dari daerah mereka. Wayang Kulit Sasak.
Sekilas pertunjukkan Wayang Kulit Sasak mirip dengan Wayang Kulit Bali yang mengandalkan efek bayangan dengan kelir berukuran lebih kecil ketimbang kelir yang biasa digunakan pada pertunjukkan Wayang Purwa. Permainan seruling yang diiringi bebunyian besi-besi pipih memperkuat nuansa miatik namun eksotis yang disajikan sang Dalang, Karte Manik Dadan Kuswara. Mendengar kemampuannya menyanyikan tembang dengan karakter vokal yang khas daerah asalnya, tidak ada yang menduga kalau ini merupakan kali pertama Kuswara, panggilan akrabnya, tampil di hadapan publik sebagai Dalang.
Kuswara baru mulai menjajal kemampuan sebagai Dalang pada bulan Februari lalu. Keinginan itu bermula dari keinginan Sadarudin, Ayahnya. Sadarudin mempunyai keinginan agar budaya Wayang Sasak bisa eksis di tengah kondisi Pewayangan saat ini. Keinginan tersebut mau tidak mau, memaksa Kuswara untuk belajar dengan cepat. Padahal waktu normal yang dibutuhkan untuk bisa memahami dan mendalami profesi Dalang terbilang tidak singkat. Hebatnya, bocah kelahiran Lombok Tengah, 5 Mei 1996 ini mampu menjawab tantangan ayahnya. Sadar anaknya hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk tampil di perhelatan Nasional, Sadarudin tidak mematok target juara. “Saya hanya ingin, semoga penampilan Kuswara dapat memacu daerah-daerah lain di NTB untuk melakukan pembinaan yang lebih serius lagi,” paparnya menjelaskan.
Wayang Kulit Sasak sendiri memiliki perbedaan tokoh dengan tokoh-tokoh Wayang yang dimiliki oleh Wayang Purwa asal Jawa. Secara makro, nilai-nilai yang hendak disampaikan Wayang Kulit Sasak secara esensial sama dengan Wayang Purwa asal Jawa. Namun pembacaan karakter pada masing-masing tokoh yang terlihat sedikit berbeda. Pengembangan Wayang Kulit Sasak menemui bebrapa kendala. Salah satu kendala yang punya pengaruh dominan menurut Sadarudin adalah, belum adanya sistem manajemen pengembangan Wayang Kulit Sasak yang cukup memadai di NTB. Hal tersebut sekaligus menjadi alasan mengapa Sadarudin begitu ngotot mendorong anaknya untuk tampil dalam ajang FDBN 2011 ini, meski sadar hasilnya kurang maksimal.
Lakon Negara Bangsinah yang dibawakan rombongan NTB ini aslinya memiliki durasi cukup panjang. Biasanya pementasan Lakon ini dibawakan semalam suntuk jika mengikuti cerita normalnya. Persiapan yang masih terbilang minim mengingat baru lima bulan terhitung semenjak PEPADI Pusat perihal FDBN 2011 sampai di tangan PEPADI NTB, Sang Dalang baru mulai bersentuhan dengan Wayang. Masyarakat NTB, menurut Sadarudin, memiliki minat cukup tinggi terhadap pengembangan kesnian Wayang Kulit Sasak. Akan tetapi, PEPADI NTB membutuhkan peran aktif Pemerintah untuk mengembangkan salah satu budaya adiluhung tersebut agar bisa lebih memasyarakat lagi di sana. Kurangnya sosialisasi kesenian Wayang Kulit Sasak di masyarakat NTB, membuat banyaknya salah anggapan terhadap Wayang. “Ada masyarakat di sana yang bahkan menganggap kesenian Wayang Kulit Sasak itu bid’ah, mas,” ceritanya mengenai anggapan keliru dari beberapa masyarakat NTB. “Padahal kalau mereka pahami secara benar, mereka akan sadar kalau pandangan mereka itu keliru,” tambahnya.
Kesenian asli NTB ini memiliki tokoh-tokoh yang mengilhami cerita Wayang yang dibagi menjadi Tokoh Kanan yang mewakili sisi baik dan Tokoh Kiri di pihak sebaliknya. Terdapat tujuh Tokoh Kanan dalam Wayang Kulit Sasak, yakni: Jayengranah yang dipandang sebagai simbol ungkapan hati nurani yang paling dalam. Lalu ada Umar Maya yang menggambarkan akal manusia untuk menilai benar dan salah. Selanjutnya Maktar, simbol dari pikiran manusia yang memutuskan baik buruknya sesuatu. Taptanus dan Saptanus merupakan pasangan kembar sebagai analogi tubuh yang selalu memiliki pasangan. Umar Madi menggambarkan bahwa diri manusia kerap kali bertindak berdasarkan hawa nafsu yang dimilikinya. Terakhir adalah Alam Daur atau dikenal juga dengan nama Slandir sebagai simbolisasi kesehatan yang selalu perlu untuk dijaga dalam tubuh manusia. Sementara Tokoh Kiri terdiri dari: Nusirwan atau biasa dilafalkan Nursiwan oleh rakyat NTB. Tokoh ini menggambarkan kehidupan seperti air yang mengalir, sumber kehidupan. Namun sumber kehidupan itu kerap dirusak oleh Bak Tak. Yaitu pengaruh buruk yang selalu melekat dalam diri manusia.