- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Athanasius Allan Darma Saputra: Bukan Soal Sabetan, Tapi Sastra!
Membuka pertunjukannya dengan senandung Keroncong, Athanasius Allan Darma Saputra langsung memaksa penonton memberikan tepuk tangan. Gagrag Surakarta yang biasanya dibawakan dengan kalem, berubah menjadi sangat energik pada pementasan kali ini. Padahal lakon yang dibawakan terbilang sulit yakni Wiratha Parwa. Namun Bocah yang baru berusia sembilan tahun ini mampu memainkannya begitu ciamik. Ia bahkan sempat menyanyikan lagu prakanca (lagu anak dalam bahasa Jawa) yang diikuti decak kagum penonton di Museum Seni Rupa dan Keramik, kawasan Kota Tua, Jakarta.
Kemampuan vokal yang dimiliki Athan, begitu ia akrab disapa, terbilang sangat mumpuni. Cengkoknya terdengar sangat pas sekali dengan genre vokal Keroncong. Tak hanya itu, gelegar suaranya sudah menyerupai kemampuan vokal Dalang dewasa meski masih terdengar nuansa suara anak. Kemampuan yang dimiliki pun cukup merata, mulai dari Suluk, Sastra, sampai dengan Sabetan, mampu ia mainkan dengan apik. Tak heran jika panggung serasa begitu meriah di bawah penampilannya.
Suara merdu buah hati pasangan Alfonsius Kristiono dan Victoria Ika Puspitarini ini bahkan memaksa pembawa acara untuk memintanya menyanyikan sebuah lagu Keroncong usai pertunjukan. Dengan sigap Athan menyanyikannya yang segera diganjar riuh tepuk tangan penonton. Sungguh Athan memilki kemampuan terbilang cukup lengkap untuk menjadi seorang Dalang.
Athan boleh disebut sebagai salah satu Dalang Bocah yang berkarakter. Bocah yang menyukai adegan goro-goro ini mampu memanfaatkan betul adegan kesukaannya itu dengan berbagai sisipan pesan moral, khususnya bagi anak-anak seusianya. Goro-goro dianggapnya sebagai ruang yang paling pas untuk menyisipkan pesan moral, justru karena adegan tersebut berisi canda tawa.
Humor menurutnya menjadi medium tepat untuk menyampaikan pesan karena lebih membekas di ingatan orang. “Anak-anak sekarang banyak yang nggak suka bahasa Jawa, jadi harus diingatkan. Supaya kita bisa melanjutkan visi leluhur. Sukur kalau bisa bawa nama Jawa ke luar negeri. Gitu lho, Mas, maksud saya,” ujarnya saat ditanya mengenai pesan dalam adegan goro-goro.
Mengidolakan Purbaswara karena memiliki kemampuan teknik yang komplit dan seimbang, Athan juga memilih untuk tidak melulu menekankan teknik sabet sebagai andalan. Meski menyukai sabet, Athan ingin kemampuan yang ia miliki seimbang. Athan malah lebih menyukai sastra yang dianggapnya sebagai bekal dasar untuk menjadi Dalang yang sesungguhnya. Sastra dinilainya sebagai dasar dari seorang Dalang untuk memahami betul cerita dan pesan yang hendak disampaikan dari pementasannya.
Pembawaan bocah kelahiran Semarang, 9 Maret 2006 ini boleh dibilang sudah seperti orang dewasa. Dengan tenang ia menjawab semua pertanyaan yang diajukan seputar pementasan dan aktivitasnya sebagai Dalang Bocah. Athan seakan mampu menepis mitos jika seorang Dalang hebat hanya bisa lahir dari keluarga Dalang. Pendamping Athan di Festival Dalang Bocah 2015 sendiri beranggapan jika soal bakat turunan bukanlah hal utama. “Soal bakat, itu nomor sekian lah. Yang penting adalah kemauannya,” ujar sang pendamping.
Jebolan sanggar Kridha Utama ini juga memiliki cita-cita menjadi seorang Dosen Pedalangan. Sejak dini ia sudah memiliki gambaran sekolah apa saja yang hendak ditempuhnya nanti. Selepas SD, SMP, ia hendak mengenyam bangku Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), sebelum akhirnya kuliah di Institut Seni Indonesia di Solo. Baginya, dunia Dalang sudah seperti nafas di mana ia tak mampu hidup tanpanya. Karena itu juga ia ingin agar dunia Wayang perlu dilestarikan karena sarat akan nilai-nilai luhur. Keinginan menjadi dosen juga tidak terlepas dari idolanya, Purbosworo yang juga merupakan Dosen sekaligus Dalang.
Sejak dini Athan membiasakan dirinya dengan disiplin. Jadwal yang dimilikinya sebagai Dalang Bocah terbilang cukup padat. Sehari sebelum beranjak ke Jakarta untuk mengikuti FDB 2015, Athan harus mentas di Salatiga lantaran harus mentas bersama Dalang kenamaan Ki Purboasmoro. Bocah Semarang ini pun tidak bisa mengikuti penutupan FDB karena harus segera terbang ke Semarang untuk menjadi penyaji di acara dies natalies STIEPARI Semarang. Dalam FDB ini, Athan membutuhkan waktu sebulan untuk persiapan. Lakon Wirata Parwa yang dibawakannya sempat menjadi jawara dalam festival tingkat Kabupaten dan tingkat Provinsi di Semarang. Sementara Januari nanti, Athan harus bersiap ke Thailand dalam rangka pertukaran seni budaya.
Masih sangat belia, namun Athan mampu berprestasi sebagai seorang Dalang Bocah. Hebatnya, ia tidak memiliki guru khusus untuk mengajarinya mendalang. Athan hanya memiliki guru pendamping yang biasa menemaninya dalam menggarap sebuah lakon. Ilmu mendalangnya boleh dibilang banyak didorong oleh hasratnya. Pengagum Waljinah ini kerap keliling ke rumah Dalang-dalang kenamaan untuk menimba ilmu. Berdasarkan keterangan sang Ayah, dalam perjalanannya Athan selalu membawa buku untuk belajar. Tak heran jika di tengah jadwal padatnya, ia tak pernah lepas dari ranking tiga besar di kelasnya.
Bertempat tinggal di tengah-tengah Yogyakarta dan Solo, Athan mengaku lebih memiilh gagrag Surakarta karena sudah terbiasa sehingga lebih mudah dimainkan. “Surakarta lebih mudah, Mas. Dibuat halus bisa, digarap gendingnya juga lebih gampang,” ujar Pelajar SDN 02 Salatiga ini. Athan mengaku menyukai Dalang sejak kecil. Adapun perjumpaannya dengan Wayang adalah melalui tayangan video. Sejak itu, ia jadi sering minta dibelikan video tentang Wayang kepada orangtuanya. Menjadi Dalang baginya bisa mendapat banyak hikmah dari sejarah yang diwariskan turun temurun oleh leluhur.
Saat ditanya mengenai karakter Wayang idola, lantang Athan menjawab, Bagong. Alasannya, dibalik jenakanya, Bagong memiliki karakter yang unik. “Bagong sering nyelekop tapi sering dianggap nggak nyambung sama orang lain. Padahal, celekopannya itu punya makna yang dalam,” papar Athan yang segera mengejutkan sang penanya. Tak disangka anak sekecil ini punya pandangan yang begitu luas dan mendalam. Bukan hanya soal Wayang sebagai seni pertunjukan, tapi juga Wayang sebagai sebuah karakter. | Marthin Sinaga