- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Aditya saputro: Tiada Detik Tanpa Wayang
Sri Rama gundah gulana. Kekasih hatinya, isteri tercinta yang baru dinikahinya, Dewi Shinta, hilang diculik Dasamuka, Raja Alengka. Sri Rama pun kemudian mengutus Anoman sebagai duta untuk mencari tahu keberadaan Dewi Shinta.
Aditya Saputro membawakan lakon Anoman Duta dengan apik. Riuh tepuk tangan terdengar selama Adit, demikian panggilannya, memainkan sabetan untir. Tokoh-tokoh wayangnya melompat dari satu sisi ke sisi lainnya, bergerak berputar layaknya akrobat. Adit belum lama berlatih sabetan macam itu dan dia tetap senang meski tiap latihan harus mengorbankan salah satu wayangnya. “Pokoknya pasti ada korban, biasanya sih pada patah wayang-wayangnya,” jelas Adit pada team dalangbocah.com. “Tapi kalau sudah begitu biasanya bisa,” lanjutnya dengan antusias.
Bagi Adit, wayang adalah segalanya, tiada detik tanpa wayang. “Saya dan wayang itu sudah menjadi satu, tak terpisahkan.” Bicara dengan Adit mungkin tak akan mengira jika ia masih duduk di kelas VII SMP 11 Batam. Adit terlihat lebih dewasa dari kebanyakan anak. “Hampir setiap hari saya berlatih wayang, pokoknya selesai sekolah, istirahat lalu pegang wayang. Pokoknya, wayang, wayang dan wayang,” ucap Adit seraya tertawa.
Adit memang memiliki darah dalang. Eyang Adit adalah dalang yang cukup ternama di Pacitan. Meski demikian, Adit tak sekedar mengandalkan bakat. “Kami sering berlatih di rumah, ya walau keadaannya serba sederhana. Bapak pegang kendang dan ibu memainkan demung dengan suaranya. Ya, kami bertiga saja.” Selain menjadi pengendang, Sutoto, ayah Adit adalah penulis naskah dan gendhing yang dibawakan Adit. “Istilahnya, bapak itu sutradaraku. Kalau nggak ada bapak, saya juga nggak tahu bagaimana,” jelas Adit.
Adit sekeluarga memang tinggal di Riau, dan kebetulan tinggal di wilayah plural dan ‘tak terlampau mengenal wayang’. Namun hal itu rupanya tak membuat mereka berkecil hati. Hal itu justeru menjadi tantangan tersendiri dan pada gilirannya merekatkan hubungan orang-tua dan anak.
Peran orang tua memang tak terbantah. Strategi kebudayaan bukan hanya mensyaratkan peran dan keterlibatan negara maupun pendidikan formil, melainkan juga harus dibentuk melalui hal yang paling mendasar; keluarga dan orang tua sebagai role model. Hal tersebut secara terpisah dibenarkan oleh Suratmi, ibunda Adit. “Demi anak, apapun saya lakukan..apalagi ini memang sesuatu yang sangat dia sukai, jelas harus saya dukung,” ungkap Bu Suratmi. “Selain itu, dengan cara ini kita juga turut nguri-uri kabudayan,” tegas Bu Suratmi dengan mimik serius. “Saya sedih mendengar berita tentang anak-anak jaman sekarang ini, mulai dari kekerasan yang menimpa anak maupun melibatkan anak.”
Bu Suratmi sendiri merasakan jika anak yang menjadi dalang dan tidak tetap ada bedanya. Bagi Bu Suratmi nilai-nilai dalam wayang mampu menjaga anak dari terpaan jaman. “Anak-anak yang mengenal wayang dapat mempelajari karakter-karakter yang ada dan itu bisa menjadi bekal mereka dalam menghadapi hidup.”
Anak memang memiliki hak hidup namun kelayakan sebaiknya tidak dibaca sekedar dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga berkait dengan sistem nilai, akhlak maupun model pewarisan yang tepat. “Siapa yang akan menjaga anak-anak kita kalau bukan kita?! Bagaimana nanti nasib generasi depan?” Ucapan Bu Suratmi menyiratkan keprihatinan dan wayang tentu bukan satu-satunya jalan untuk menjawab seluruh persoalan yang ada, namun setidaknya wayang dapat memainkan posisi penting dalam menjaga sistem nilai yang ada sekaligus merevitalisasi nilai-nilai tersebut agar tak lekang jaman.