- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Wayang, Populisme, dan Generasi Milenial
Siapa bilang wayang telah mati? Sebagai warisan budaya, wayang hidup berdampingan bersama sejumlah bentuk kebudayaan lain di tengah jaman yang bergerak begitu cepat dan dinamis. Wayang tak akan pernah mati selama masih ada pelaku, penonton, dan para pemangku kepentingannya. Seperti yang diwujudkan oleh PEPADI melalui gelaran Festival Dalang Bocah 2017 di Panggung Candi Bentar, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Bahwa wayang dan beberapa budaya tradisional lainnya sedang berjibaku menghadapi serbuan gegap gempita budaya pop dunia lewat media internet, itu kita harus akui. Bahkan, di beberapa tempat, wayang harus berhadap-hadapan dengan kuasa-agama, yang menuding wayang membawa paham “musyrik” dan harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Ini menjadi tantangan tersendiri untuk bisa tetap ‘menghidupkan’ wayang secara berkelanjutan.
Kalau sudah sampai disini, salahkah jika generasi milenial memilih untuk menanggalkan wayang dan sekian atribut budaya warisan nenek moyangnya, untuk kemudian menjadi seragam dengan budaya dunia global? Tidakkah wayang justru memberikan sentuhan khas tentang Indonesia yang berbudi luhur, yang memiliki nilai tuntunan bagi perjalanan hidup anak-anak dalam menghadapi kehidupan dewasanya?
Niatan PEPADI dan sejumlah pihak yang telah menyelenggarakan ajang festival bagi dalang anak merupakan hal yang harus di apresiasi. Bukan rahasia misalnya, “sponsor” kurang menyambut acara yang dianggap “kurang populer” semacam gelaran wayang dalang bocah ini. Lebih mudah misalnya, “menjual” kegiatan live music DJ yang lebih populer untuk mendapatkan dukungan sponsor. Kita tidak bisa langsung menyalahkan hal ini, karena memang pihak sponsor akan selalu berhitung dengan popularitas merk dagangnya-atau bahkan melekatkan target penjualan produknya pada saat kegiatan berlangsung.
Apakah wayang bisa menjanjikan popularitas? Apakah wayang bisa bersanding pada wilayah populer dengan budaya global? Apakah wayang bisa menawarkan nilai-nilai kebajikan seperti yang juga didengung-dengungkan agama? Jawaban sederhananya: bisa! Persoalannya justru ada pada rasa ketermilikan kita terhadap identitas yang diwariskan oleh orang tua dan nenek moyang kita.
Selalu, problem utamanya adalah pilihan… (PJD)