Wayang di Tengah-tengah Generasi Instan

Pengakuan dan penghargaan dunia atas wayang melalui UNESCO hanyalah babak pembuka. Tugas selanjutnya adalah menempatkan wayang sebagai bagian dari kehidupan keseharian di tengah-tengah geliat jaman dan persinggungan kebudayaan dunia.

Gelaran Festival Dalang Bocah (FDB) 2012 menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Regenerasi dan pembinaan dalang muda, wayang dan dinamika jaman, hingga geliat organisasi sekelas PEPADI dan SENA WANGI yang terus berusaha menciptakan inovasi demi impian ‘menempatkan wayang sebagai tuntunan bagi orang banyak’, menjadi cakrawala evaluasi kita bersama; evaluasi yang harus menggambarkan sebuah visi ke depan tentang posisi wayang di tengah-tengah jaman.

FDB sebagai inagurasi seorang dalang bocah bukan semata-mata pagelaran dan festival. Terungkapnya kembali wacana lama dalam proses penjurian, yaitu  penekanan gerak dan sabet oleh sebagian besar peserta kontingen juga menjadi cerminan untuk melihat arah visi regenerasi dan pembinaan dalang muda. Sumanto, S.Kar, ketua Tim Dewan Pengamat FDB 2012 secara tegas memberikan masukan kepada seluruh pembina kontingen untuk memberikan dasar-dasar pedalangan sejak dini, agar FDB 2012 benar-benar menjadi regenerasi yang utuh bagi pemahaman seorang dalang anak.

Di luar persoalan di atas, elemen penonton dan penikmat dunia pewayangan menjadi salah satu penentu yang tak bisa dipisahkan. Di tangan penonton, dalang memiliki komunikasi dua arah yang utuh dan mengena, baik saat menggelar lakon maupun di luar panggung. Dalam arti luas, penonton dan penikmat kemudian bukan sekedar mereka yang menikmati pementasan langsung; para hobbies dan penggemar wayang, komunitas-komunitas, pengamat, dunia luar negeri, atau bahkan sekedar mereka yang punya ketertarikan. Merangkul dunia di luar dunia pewayangan yang ada selama ini bisa menjadi strategi bagi regenerasi dan perluasan wayang sebagai pengetahuan dan tuntunan.

Dalang Nanang Hape memandang, wayang memberikannya pandemen atau dasar-dasar kehidupan yang sesungguhnya memiliki nilai universal. Membaginya kepada seluruh manusia adalah tugas utama pelaku dunia pewayangan, tak terkecuali dirinya. Agar dapat diterima oleh kalangan yang lebih luas, Nanang berusaha menjumput tradisi dan menemukan harmonisasinya dengan format pertunjukan yang dimengerti oleh kalangan umum. “Generasi (sekarang-red) ini punya hak yang sama untuk mengenal wayang dan semua sistem nilai yang termuat di dalamnya. Kesalahan bukan di pundak mereka kalau generasi ini tidak punya ingatan yang cukup dengan kebudayaan leluhurnya,” tegas Nanang.

Hal senada diucapkan Ibu Sri Sulansih. Dalang perempuan yang telah hidup di beberapa generasi ini memandang pentingnya kesempatan bagi dalang anak yang berangkat dari lingkungan yang kurang memiliki ikatan tradisi seperti Jakarta untuk bisa mengartikulasikan wayang. Bu Sri menambahkan, hal yang terpenting justru pada bagaimana sebuah generasi memandang, memperlakukan dan menghargai karya dan sejarah. Bu Sri tidak menolak pertunjukan kolaborasi dan inovasi, walau ia menekankan pentingnya memperlakukan wayang secara terhormat. “Wayang bukan sesuatu yang suci. Tapi wayang adalah karya kebudayaan yang memiliki kekayaan aspek, yang dilandasi pengetahuan dan tuntunan hidup. Sudah sepatutnya wayang dan kebudayaan diperlakukan sebagaimana mestinya,” tandas Bu Sri.

Karena itu, Bu Sri sangat mendukung kegiatan semacam FDB. Selain regenerasi dalang secara teknis, menanamkan wayang secara baik dan benar kepada anak-anak akan memiliki dampak yang besar terhadap pembentukan kebudayaan di sebuah generasi. Bu Sri berharap, para dalang anak dapat menempatkan wayang secara lebih utuh, bukan sekedar teknis atau hanya untuk mainan belaka. “Semoga generasi wayang ini bisa tumbuh untuk meredam pikiran-pikiran buruk. Dari karakter-wayang yang ada, mereka bisa belajar untuk membangun sesuatu yang lebih besar dari apa yang ada sekarang,” tambah Bu Sri lagi.

Dua sinden pengiring para dalang bocah dalam FDB 2012 memberikan masukan yang begitu berharga. Selain acungan jempol atas peningkatan kualitas dari para pementas, Ibu Sri Yanti dan Ibu Sri Lestari memberikan gambaran akan arti dunia pewayangan bagi pelaku dan penikmat secara keseluruhan, khususnya para pementas FDB 2012. Menjadi sinden tak sekedar memiliki vokal yang bagus, namun menciptakan nuansa yang satu dengan seluruh elemen pagelaran menjadi sebuah nilai tersendiri. “Yang terpenting adalah olah roso. Tanpa itu, seorang sinden akan kesulitan untuk ngepaske dengan lain-lainnya,” ungkap Bu Sri Lestari.

Karena itu, di tengah jaman yang menuntut motif ekonomi ketimbang motif keselarasan rasa, kedua sinden ini memaklumi banyaknya para sinden yang memilih jalur panggung campur sari ketimbang tetap setia sebagai sinden. Kedua sinden senior ini tak menolak fenomena semacam ini, walau mereka tetap berkeinginan agar profesi sinden menjadi sebuah pilihan terbuka bagi dunia hari ini. “Utamanya niat ingsun dulu agar pekerjaan ini berjalan baik. Dan jangan lupa, jangan kotori waranggana, pahamilah artinya, peran dan juga maknanya secara mendalam,” papar Bu Sri Lestari ketika ditanya mengenai harapannya atas profesi sinden yang dijalaninya ini.

Menyikapi FDB sebagai metode regenerasi dalang, Ketua Pelaksana Pak Onang Sunaryono memberikan diskusi baru menyoal bentuk dan serapan wayang bagi generasi hari ini. Dorongan PEPADI untuk memasukkan wayang dalam kurikulum resmi adalah strategi yang harus diperjuangkan sebagai langkah nyata menyelaraskan wayang dengan dunia hari ini. Namun, Pak Onang justru melihat sosialisasi secara terbuka merupakan strategi yang tak boleh dinomor-duakan. Ia senang melihat pengunjung keluarga yang datang hanya untuk melihat pementasan dalang anak-anak, walau terlihat ketidakmengertian isi dari apa yang dipentaskan. “Yang penting niatnya. Kalau sudah ada niat, lebih mudah untuk diajak,” sahut Pak Onang.

Walau demikian, Pak Onang sangat mengerti, mensosialisasikan wayang secara terbuka bukanlah hal yang mudah. Berbagai cara sebenarnya sudah dilakukan, termasuk mengangkat Wayang Sandosa yang menggubah bahasa dalam wayang menjadi Bahasa Indonesia, agar dapat dipahami oleh kalangan masyarakat yang lebih luas. Alhasil, muncul pro-kontra yang justru membuka wilayah diskusi dan pemahaman baru terkait perkembangan wayang ke depan. “Saya sendiri mengakui, nonton wayang kalau bahasanya bukan Bahasa Jawa, ngga kena di rasa saya. Tapi mungkin ini salah satu cara yang harus ditempuh,” Pak Onang memberikan pendapatnya.

Di luar persoalan yang masih membutuhkan proses dan cara, wayang telah berjibaku dalam lumpur kenyataan hari ini. Generasi teknologi informasi hari ini membukakan mata kita, bahwa media pengetahuan dan tuntunan mereka bukan lagi sekedar keterlibatan yang aktif. Kemudahan menekan tombol dalam perangkat keras telepon genggam atau komputer jinjing secara signifikan telah menggeser keterlibatan olah roso mereka. Butuh siasat dan strategi lebih, dengan keterlibatan pihak yang jauh lebih luas untuk bisa menempatkan wayang sebagai tuntutan bagi orang banyak, khususnya anak-anak, agar wayang tak hanya berjalan di seputaran pelaku dunia pewayangan semata. Mengutip kata Pak Onang Sunaryono, “Tanpa rakyat dan masyarakat, wayang tak akan ada apa-apanya…” (aovi | PJD, Cin, MS)

Share Button

Leave a Comment