Sponsorship Festival Dalang Bocah 2009: Mempertanyakan Komitmen Industri

Ada satu hal yang menarik untuk melihat bagaimana tema wayang, khususnya Festival Dalang Bocah (FDB) 2009 terapresiasi oleh masyarakat umum. Diluar faktor persiapan waktu yang kurang, minimnya jumlah penonton yang hadir tak dapat menjadi tolok ukur kesuksesan atau kegagalan FDB 2009. Manajemen pertunjukan telah bergerak dari pendekatan klasik audience-oriented (orientasi penonton dan penikmat) kepada media campaigne-oriented (orientasi media kampanye), dimana apresiasi masyarakat umum dapat terbaca dari keterlibatan industri dalam sebuah pagelaran acara. Dengan mengusung tema rekonstruksi tradisi di tengah globalisasi yang kompetitif, FDB 2009 bisa menjadi rujukan bagaimana industri terlibat dan memosisikan diri untuk menjadi partner simbiosis bagi tujuan penyelenggaraan acara ini.

Lanny Goenawi, Head Division Corporate Communication Bank OCBC NISP mengakui, program Corporate Social Responsibility (CSR) sebuah perusahaan tak pernah lepas dari pesan moral dan kepedulian sosial yang memiliki efek strategis bagi visi misi perusahaan.  Demikian pula dengan keterlibatan OCBC NISP dalam FDB 2009, walaupun secara kasat mata, dunia industri perbankan tak memiliki kaitan langsung dengan dunia perwayangan. Namun, OCBC NISP justru melihat sinergi positif antara wacana moral yang terkandung dalam dunia wayang dan relasi industrial dalam organisasi perusahaan. Rasa ketermilikan antara individu dan organisasi perusahaan harus menyatu untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. “Pesan moral wayang kerap berisi hak dan kewajiban seseorang dalam bernegara dan berorganisasi. Siapa atasan dan siapa bawahan. Siapa yang lebih tua dan mumpuni, dan siapa yang harus mendengarkan. Namun, bukan berarti atasan atau yang lebih tua bisa berperilaku semaunya. Semua ada aturan, ada tata caranya,” jelas Lanny saat ditemui usai menyerahkan penghargaan kepada lima Penyaji Terbaik Non Ranking, 19 Desember 2009.

Selain itu, tambah Lanny, ajang semacam ini akan semakin memperkuat karakter kebudayaan Indonesia, baik kebudayaan di tingkat lokal maupun kebudayaan nasional. Karakter dan perilaku manusia Indonesia menjadi cermin bagaimana aspek perikehidupan masyarakat akan berjalan. Karakter dan perilaku inilah yang kemudian menjadi modal terpenting bagi arah kemajuan industri Indonesia, apakah modal ini cukup kuat menjadi pijakan untuk dapat membentuk struktur ekonomi yang kokoh dan bervisi keluar. Senada dengan hal tersebut, Lanny berharap, elaborasi antar bentuk-bentuk kesenian seperti wayang, batik, dan lainnya, akan memberikan landasan bagi gerakan kebudayaan nasional di masa depan.

Grace Vita Nelwan, Public Relations Unit Head Corporate Communication OCBC NISP menambahkan, OCBC NISP menggarisbawahi aspek pendidikan dalam ajang FDB 2009. Pendidikan formal yang kompetitif harus dibarengi dengan pendidikan kebudayaan yang memiliki pesan moral tinggi. Grace melihat dunia anak-anak sebagai langkah paling awal untuk menanamkan etika dalam karakter kepribadian seseorang. “Para dalang bocah akan kembali ke rutinitas mereka, dan menjadi agen perubahan bagi teman-teman mereka. 15-20 tahun lagi, kita akan melihat hasil positif dari apa yang kita bina hari ini”, tutur Grace.

Persoalannya, tak semua industri memiliki visi jauh ke depan. Industri seringkali berorientasi dalam perspektif dagang, investasi, penumpukan modal, dan perhitungan untung rugi; tak terkecuali perencanaan program CSR. Menjalankan program ini, atau Corporate Social Culture Responsibility (CSCR) dalam kacamata Wapres Boediono, membutuhkan industri yang visioner, yang mampu melihat kebudayaan dan kesenian sebagai partner simbiosis dari kemajuan industri itu sendiri, agar kebudayaan justru tak terjebak dalam industrialisasi seni. (Peter)

Share Button

Leave a Comment