- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Raditya Ganendra Arsata dan Jejaring Wayang yang Hilang

Perang telah terkobar di bumi Alengka. Prabu Dasamuka marah besar karena banyaknya prajurit dan senopati yang gugur di medan laga melawan prajurit Ramawijaya. Akhirnya, Rahwana membujuk Kumbakarna adiknya untuk bersedia menjadi senopati. Jamuan makan besar pun segera dihidangkan demi membujuk Kumbakarna.
Kumbakarna melenting berputar dan hup, tangan kecil Raditya Ganendra Arsata dengan cekatan menangkap gapit wayang tersebut. Padahal, tubuh Radit sekilas terlihat terlalu mungil untuk berhadapan dengan wayang Kumbakarna.
Siswa kelas III SDN 2 Salatiga ini baru pertama kali mengikuti Festival Dalang Bocah, namun demikian penampilannya begitu memikat hati. Membawakan lakon Kumbakarna Gugur, Radit yang tak memiliki garis darah dalang tampil dengan penuh percaya diri dengan iringan kawan-kawannya sendiri yang berasa dari Sanggar Padharasa.
Radit dan kawan-kawan tentu lebih dari sekedar beruntung. Meski tak memiliki garis darah dalang namun mereka dapat menyerap pengetahuan dari seni pedalangan yang secara kultural kerap diasosiasikan lekat dengan mereka yang memiliki darah turun langsung. Mbah Sardjono, sesepuh sekaligus pendiri dari Sanggar Padharasa membenarkan hal terebut dengan keyakinan penuh. “Bisa!” Mbah Sardjono menjawab dengan lantang. “Ini Radit dan kawan-kawan adalah buktinya.”
Radit sendiri datang ke Sanggar Padharasa sebelum ia memasuki TK. Orang tua Radit sengaja ‘menitipkan’ sang putra lantaran kesenangannya pada wayang. Dan sebelum Radit baca-tulis ia sudah mempelajari hal yang paling mendasar, yakni pengenalan huruf Jawa yang dibuat dalam bentuk suluk; Suluk Hanacaraka. Membangun kemampuan mendengar, merasa dan terbiasa, sebelum kelak menjadi sebuah laku, tentu bukan sebuah pengetahuan yang murah. Ia adalah bagian penting dari sari pati ngelmu dan inilah yang berusaha ditanamkan oleh Mbah Sardjono.
Meski kini sudah terbilang sepuh dan hampir memasuki usia 74 tahun, namun Mbah Sardjono tetap menerapkan etika dasar kepada seluruh murid didiknya. Sanggar Padharasa memang tergolong unik. Seluruh anak-anak yang nyantrik dengan Mbah Sardjono diwajibkan untuk mempelajari baik itu tehnik mendalang maupun menjadi pengrawit. Radit sendiri adalah pengendang sekaligus pengrawit, demikian juga dengan kawan-kawannya yang lain. Hal tersebut sengaja dibangun oleh Mbah Sardjono untuk mensinergikan hubungan antara pendalang dengan pengrawit. ‘Olah rasa’ ini kelak berguna agar mereka sama-sama mengerti peran dan kedudukan tiap elemen. Selain itu, untuk dapat lulus dari Sanggar Padharasa setiap anak diwajibkan untuk memainkan lakon Wahyu Makutarama. Lakon tersebut jelas datang bukan tanpa alasan. Syarat tersebut tak lepas dari pengalaman yang pernah ditimba Mbah Sardjono.
Pada awalnya, Mbah Sardjono sempat diminta mandegani atau membantu Ki Nartosabdo. Setelah beberapa saat nyantrik pada dalang kondang tersebut Mbah Sardjono yang berasal dari Wedi, Klaten memilih untuk meneruskan perjalanan hingga tiba di kota Solo. Di sana, Mbah Sardjono menjadi murid terakhir dari Romo Bei Sutarno, guru kursus Pasinaon Dalang Mangkunegaran. Pada waktu itu, Mbah Sardjono berhasil menempuh pendidikan hanya dalam waktu 9 bulan, sementara umumnya kelulusan ditempuh dalam waktu tiga tahun. Selama pendidikan, buku baku yang digunakan sebagai pegangan adalah lakon Wahyu Makotarama, tak heran jika Mbah Sardjono kemudian berusaha mewariskan metodologi yang sama kepada anak didiknya. Laku kelana Mbah Sardjono kemudian membawanya pada aktivitas di Panunggaling Dalang Republik Indonesia (PADRI).
Mbah Sardjono sendiri sejak tahun 1973 telah menetap di Salatiga, namun baru berhasil mendirikan Sanggar Padharasa pada tahun 2004. Sempat mengalami masa vakum panjang antara tahun 2006-2012, Sanggar Padharasa kembali unjuk gigi terutama setelah pementasan perdana yang dilakukan oleh Radit pada acara merti desa. Mulai sejak itu banyak anak tertarik untuk bergabung dengan Sanggar Padharasa. Hingga kini tercatat 34 orang anak menjadi anggota, dengan usia tertua kelas III SMP.
Radit memang terhitung istimewa, ia unggul bukan sekedar dalam penguasaan teknis. Tali rasa-nya kepada sang guru pun demikian besar. Ada kalanya, Radit menenggak sisa air minum milik Mbah Sardjono lantaran kepercayaannya atas berkah dan tuah sang guru; satu kebiasaan yang bukan lagi menjadi rahasia bagi mereka yang hidup dalam lingkungan seni tradisi. Selain itu, Radit hanya mau menggunakan catatan gendhing yang ditulis oleh Mbah Sardjono secara langsung ketimbang menerima bahan foto-copyan.
Sebagai sebuah metoda pendidikan, kultur yang coba dibangun Sanggar Padharasa telah mengembalikan mata rantai yang hilang dalam dunia seni pedalangan. Sanggar Padharasa berhasil mengelola kompleksitas seni tradisi dan perkembangan yang ada melalui jalur-jalur budaya yang selama ini terpinggirkan. Ia bukan saja sanggup memayungi kebutuhan teknis-formal dalam seni pedalangan namun juga berhasil menyambung tali rasa dalam hubungan horisontal maupun vertikal; sesuatu yang secara holistik harusnya menjadi catatan bagi dunia pendidikan di Indonesia.