Pertumbuhan Pesat Dalang Bocah dan Tugas Kita Semua

cover

Pesatnya pertumbuhan dalang bocah belakangan ini menegaskan fenomena baru tentang ketertarikan masyarakat terhadap kesenian tradisional. Jumlah yang terus bertambah bisa terlihat dari minat dan antusiasme yang mengajukan diri dari seluruh daerah dalam ajang seperti Festival Dalang Bocah. Sesepuh PEPADI, Ekotjipto, dalam konferensi pers mengakui, animo kepersertaan dari daerah terlihat sangat luar biasa. Kendalanya justru ada pada penyelenggaraan yang terbatas pada faktor waktu dan pendanaan.

Hal yang luar biasa justru terjadi di Jawa Tengah. Sebagai salah satu basis terkuat seni pewayangan, pertumbuhan jumlah dalang bocah menunjukkan lonjakan yang cukup tinggi. Temu Dalang Bocah Nusantara, sebuah ajang silaturahmi dalang bocah dari berbagai daerah di Indonesia yang diselenggarakan di Surakarta, menjadi bukti dari pertumbuhan yang luar biasa tersebut. Tahun 2005, ajang ini dihadiri oleh 29 anak meliputi umur 3 tahun hingga awal Sekolah Menengah Pertama (SMP). 10 tahun kemudian, atau tepatnya tahun 2015, Temu Dalang Bocah Nusantara menghadirkan 185 penampil dalang bocah, dimana 100 diantaranya berasal dari Jawa Tengah. Dibutuhkan lebih dari 16 jam dalam sehari selama 8 hari berturut-turut untuk menggelar seluruh penampil.

MudjionoMudjiono, sesepuh sekaligus pengampu dari Padepokan Seni Sarotama Surakarta, melihat hal ini dalam 2 pandangan. Pertama, ia sangat antusias dan gembira dengan pesatnya pertumbuhan jumlah dalang bocah. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisional, khususnya seni pewayangan. Wayang sebagai media permainan juga turut menjadi faktor bagi ketertarikan seorang bocah saat menekuni pedalangan. “Temannya main, kemudian cerita ke yang lain, sampai ndak mau pulang,” kisah Mudji ditemui dalam Festival Dalang Bocah 2015.

Namun demikian, pesatnya pertumbuhan jumlah dalang bocah mengisyaratkan sebuah kerja besar bagi seluruh pihak; baik dari pengampu, masyarakat, negara, dan bahkan para dalang senior. Kecenderungan ‘budaya visual’ yang melingkupi generasi saat ini menjadi dasar bagi seorang dalang bocah untuk cenderung memainkan karakter wayang dengan kasar. Kisah keseluruhan dan pertempuran yang beretika kerap kali dilewatkan oleh para dalang bocah, yang kemudian hanya mementingkan sabet serta teknik adegan pertempuran yang lebih mengarah pada kekerasan.

Di samping itu, konsep ‘dalang pasar’ juga menjadi perhatian Mudji. Ia tak menampik bahwa pilihan menjadi ‘dalang pasar’ sangat terbuka untuk era saat ini. Karena itu, ia selalu mengingatkan dan memberikan dorongan kepada setiap pribadi dalang bocah untuk menekuni seni pewayangan secara lebih utuh. Pembentukan lingkungan yang berbudaya dan beradab menjadi hal yang sangat penting. Dari yang paling kecil adalah orang tua; kemudian guru dan pengampu; andil negara dalam memberikan kesempatan yang lebih luas bagi kesenian sendiri untuk menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri; dan tak lupa tugas para dalang senior sebagai figur yang dicontoh oleh para dalang bocah. “Jangan lupa, kita menitipkan seluruh kehidupan ini kepada mereka. Mau jadi apa mereka, itu pilihan mereka sendiri. Tapi sudah jadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan mereka, dan mewariskan peradaban yang benar-benar beradab”, tukas Mudji dengan semangat. (PJD)

Share Button

Leave a Comment