- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Parasdya Wisnu Wisanggeni: Meneruskan Tradisi Dalang Keluarga
Tubuhnya kecil mungil. Di usianya yang baru sembilan tahun, bocah kelahiran 7 April 2006 ini dengan gagah berani memainkan buah wayang Gathutkaca, salah satu tokoh yang paling digemari oleh para dalang bocah. Lakonnya malam itu, Wahyu Senapati, mengisahkan tentang perebutan wahyu antara Gathutkaca dan Prabu Setija. Penonton berdecak kagum melihat sosok kecilnya di antara hamparan buah wayang dan kelir yang menggambarkan jagad itu.
Parasdya Wisnu Wisanggeni, panggilannya Inu, merupakan peserta dari Provinsi Lampung. Ia memang terlahir dari darah keluarga yang kental dengan dunia pewayangan. Ayahnya, sekaligus pembimbing dan pelatihnya, Teguh Surono, berprofesi sebagai dalang. Eyang kakungnya, atau ayah dari ayahnya, juga berprofesi sebagai dalang; sementara eyang putrinya, ibu dari ayahnya, mendalami dunia sinden. “Dari kecil, dia memang kelihatan suka dengan wayang. Wayang yang saya buat, belum selesai ditatah, sudah hancur jadi mainannya,” kisah Teguh usai Inu mementaskan lakonnya malam itu, 20 November 2015, dalam ajang Festival Dalang Bocah 2015.
Putra keduanya ini memang diharapkan bisa meneruskan tradisi keluarga Teguh yang tak jauh dari dunia pedalangan. Betapa tidak, animo kesenian tradisional di Lampung belakangan terlihat meningkat, terlihat dari antusiasme anak-anak kecil yang begitu gembira belajar karawitan. Sudah dua tahun ini Teguh mendirikan Sanggar Pringgondani di Sukoharjo 3, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Karena itulah, Teguh ingin menjadikan Inu, sang anak, menjadi dalang yang lebih baik dari dirinya. “Kita sebagai orang tua hanya mendorong. Asal si anak senang dan punya keinginan yang kuat, kita harus dukung. Kebetulan ya ndak jauh dari dunia saya,” lanjut Teguh.
Teguh justru sangat menekankan kurangnya peran pemerintah terkait pendidikan anak-anak untuk kesenian dan kebudayaan di Lampung. Rintisan sanggar yang dibentuknya dilakukan secara mandiri. Teguh ingin agar Inu dan bocah-bocah yang punya hasrat berkesenian tradisional bisa dipayungi dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah. “Seni tradisi itu punya akar yang kuat. Kalau anak punya keinginan di situ, dia secara otomatis akan belajar kaidah-kaidah dasarnya, termasuk etika dan nilai-nilai kebajikan,” tukas Teguh. (PJD)