Muhammad Setyo Mukti Wicaksono: Jangan Jadi Kurawa

IMG_20151121_104822Muhammad Setyo Mukti Wicaksono membuka pagelaran hari kedua Festival Dalang Bocah ke-VI Tahun 2015 dengan lakon Gatotkaca Jago. Suaranya terdengar berat, jauh berbeda dengan kedatangan pertamanya pada FDB 2012 lalu. Saat itu, Mukti terlihat masih kanak-kanak dan terlihat malu-malu jika bicara. Kini, Mukti mulai tumbuh menjadi remaja dan cita-citanya pun sudah berubah, jika dulu ia hendak menjadi presiden yang bisa mendalang, kini ia berkeinginan untuk menjadi dosen seni pedalangan.

“Saya nggak bisa jauh dari wayang. Buat saya wayang itu penting buat hidup, banyak pelajaran hidup yang ada di dalamnya,” jelas Mukti. “Misalkan saja begini, ketika ada orang yang tidak suka kepada saya dan membenci saya, saya langsung teringat dengan tokoh Puntadewa. Seperti Puntadewa, saya memilih diam, tidak meladeni orang yang membenci saya dan membiarkan mereka untuk mengetahui sendiri sebenarnya seperti apa saya itu aslinya. Jadi nggak perlu menjawab dengan omongan apalagi membalas dengan perbuatan,” lanjut Mukti panjang lebar.

IMG_20151121_1150333Dalam Festival Dalang Bocah kali ini Mukti, yang sempat menjadi juara harapan dalam Festival Dalang Cilik V, 2015 di Jogjakarta, tampil sedikit berbeda dengan peserta lainnya. Biasanya, para peserta datang lengkap dengan membawa pengrawit dan pengendang namun Mukti justeru moro jejak alias datang membawakan diri tanpa dukungan team pengrawit dan penabuh. Hal itu sedikit tidak biasa, terlebih untuk ukuran dalang bocah. Sebagaimana diketahui, dalam wayang hubungan antara dalang dan pengendang memiliki porsi tersendiri. Dalam arti, keduanya harus memiliki ‘ikatan khusus’, pengendang harus mengerti dengan gaya permainan dalang dan sebaliknya, dalang pun harus mampu membaca ritme dari ketukan kendang. Tanpa pengertian tersebut, mustahil wayang dapat dimainkan dengan baik. “Untungnya saya sudah biasa, jadi berani untuk mandiri dan tidak bergantung,” jelas Mukti. “Yang penting kita bisa laras secepat mungkin dengan ketukan kendang dan pengrawit.”

Meski masih terhitung sebagai dalang bocah namun Mukti, kelahiran Way Kanan, 3 Maret 2001 kerap mendalang untuk bersih desa. Ditanya bagaimana pendapatnya tentang buruh dalang, Mukti menjawab jika hal tersebut di satu sisi tetap memberi manfaat yakni ada orang yang tetap menanggap wayang dan dengan demikian wayang tetap dapat dikenal dan tidak diklaim negara lain. “Semua itu pada dasarnya sih tergantung orangnya, apakah arahnya memang untuk menjadi dalang yang sebenarnya atau tidak.”

Selain mendalang, Mukti juga senang bernyanyi, bermain musik, aktif di kegiatan pramuka bahkan sempat menjadi pelatih drum band untuk dua SD dan satu SMP. “Ya, aktif terus yang penting bisa membagi waktu. Tapi diantara itu, yang benar-benar penting dalam hidup itu adalah jangan sampai kita menjadi Kurawa,” ucap Mukti dengan tegas.

 

Share Button

Leave a Comment