Ki Yogaswara Sunandar : Dalang Harus Berwawasan Luas

Yogaswara Sunandar, begitu nama peserta Festival Dalang Remaja (FDR) 2011 perwakilan Pepadi Propinsi Jawa Barat. Dengan mengambil gaya Golek Sunda, Yoga, demikian panggilannya, menampilkan lakon “Jaya Perbangsa” di Teater Kautaman, Gedung Pewayangan Kautaman TMII, Jakarta (20/10). Penampilannya siang ini cukup memikat penonton, terutama karena gagrag Golek Sunda yang memang hanya ditampilkan secara tunggal oleh peserta asal Jawa Barat ini.

Tentang gaya dan ketertarikannya pada dunia pewayangan, Yoga mengakui mendapatkannya dari sang ayah, Asep Sunandar Sunarya. Kecintaan dan totalitas ayahnya pada seni pertunjukan wayang membuat remaja kelahiran Bandung, 12 Pebruari 1991 ini melihat, betapa peran dalang di dalam dan di luar pementasan memiliki posisi penting di tengah-tengah masyarakat. Walaupun wayang masih didominasi oleh kalangan menengah ke atas, namun ia merasa dalang seharusnya mampu menjadi mediator atas situasi masyarakat pada umumnya, dan harus menjadi cermin pengetahuan untuk khalayak luas.

Peran dalang ini, tutur Yoga, harus dimaknai secara lebih mendalam. Peraih dua kategori sebagai dalang penyaji terbaik dan dalang sabet terbaik tingkat se-Jawa Barat tahun 2009 ini memang sudah cukup memahami karakter dalang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Selain karena dibesarkan di lingkungan seniman, Yoga menempuh pendidikan Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Hubungan Masyarakat di Universitas Padjadjaran Bandung yang justru melengkapi warna pengetahuan lain dalam dirinya. “Dalang harus memiliki wawasan yang luas, mulai dari seni sampai ekonomi. Supaya bisa memahami kondisi masyarakatnya dan menjadi mediator,” ujar Yoga.

Berbanding terbalik dengan hal itu, Yoga yang pertama kali menggelar pentasnya pada umur 16 tahun mengomentari fenomena penolakan wayang oleh segelintir golongan sebagai bentuk kurang pahamnya orang terhadap latar belakang wayang. Ia menekankan proses siar agama Islam yang dilakukan Wali Songo justru melalui mediasi kebudayaan lokal. Dipilihnya wayang oleh para Wali untuk menyebarkan agama Islam menunjukkan bahwa wayang merupakan tutur nilai yang dapat dimengerti oleh masyarakat. Karena itu, tidak seharusnya penolakan wayang muncul tanpa ada argumentasi.

Lanjut Yoga, bahasa wayang bersifat universal, dan merupakan pertunjukan yang tertata dengan makna-makna tertentu. Dengan bahasa yang universal itulah, wayang seharusnya dapat diterima oleh semua lapisan tanpa terkecuali. Tidak hanya diterima, namun wayang dapat menjadi cermin aspirasi dan mediasi antar berbagai pihak. Ia berharap, pemerintah mau lebih jeli dan mengeksplorasi wayang untuk perkembangan kesenian Indonesia. “Salah satu minimnya rasa memiliki wayang oleh anak muda disebabkan kurangnya apresiasi wayang untuk anak muda. Pemerintah harusnya bisa melahirkan lebih banyak program wayang yang ditujukan untuk anak muda. Supaya ada kesadaran yang tumbuh lebih lagi.” (AOVI / PJD)

Share Button

Leave a Comment