- Hari Kelima - Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEEMPAT Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KETIGA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI KEDUA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda VIRTUAL Tingkat Nasional 2020
- HARI PERTAMA Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda Virtual Tingkat Nasional 2020
Ki Sunarno: Suara dari Pulau Seberang
Budaya Jawa, mungkin sudah mendarah daging dalam diri Sunarno. Lahir dan besar di Pulau Andalas, tepatnya Sumatera Utara,remaja berusia 22 tahun ini justru menganggapnya sebagai cambuk untuk melestarikan Wayang, khazanah budaya yang berasal dari tanah kelahiran orang tuanya, Pulau Jawa. Satu niat yang terlintas dalam pikirannya hanyalah, kebudayaan adiluhung ini meski berkibar di Tanah Andalas. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Festival Dalang Remaja (FDR) 2011 yang digelar PEPADI Pusat di Jakarta pun dijadikannya sebagai kesempatan untuk merealisasikan niatnya tersebut. Ya, menjadi dalang merupakan salah satu jalan yang hendak ditempuhnya guna menjaga kelestarian budaya wayang.
Mengaku sudah mencintai wayang sejak kecil, jebolan sanggar Jaya Laras, Pematang Siantar ini memilih jurusan pedalangan saat memasuki jenjang pendidikan SMK. Dari situ ia mulai memperdalam keinginannya untuk menjadi dalang. Sedikit berbeda dengan daerah lain yang terlebih dulu mengadakan seleksi, Sunarno mengaku jika ia mengajukan diri pada PEPADI Sumut agar diberi kesempatan untuk tampil dalam FDR 2011. Gayung bersambut, PEPADI Sumut pun memberikan apresiasi dengan mengabulkan pengajuannya. Pertunjukkan yang ia suguhkan nyatanya mampu membayar kepercayaan yang telah diberikan PEPADI Sumut kepadanya.
Mendapat giliran ketiga pada hari pertama FDR 2011, Sunarno menampilkan lakon Kangsa Adu Jago. Sebuah kisah yang bercerita tentang perebutan kekuasaan yang berujung kemelut di suatu negara bernama Mandura. Kangsa Adu Jago sengaja dipilih karena dianggap cukup relevan dengan situasi Indonesia sekarang yang kerap dliputi konflik seputar elit kekuasaan. Penyuka karakter Brotoseno ini hendak memberikan kritik dan masukan melalui penampilannya. “Negara saat ini udah banyak nggak benernya,” ujarnya mengungkap alasan pemilihan lakon. Beberapa improvisasi yang dilakukannya cukup berhasil mencuri perhatian penonton yang mengisi ruang Teater Kautaman. Ditambah lagi kemampuan vokal yang dimilikinya sudah menyerupai kemampuan vokal dalang senior. Tak ayal, riuh tepuk tangan penonton yang disertai teriakan Horas, salam khas Sumatera Utara, menutup penampilannya.
Sekilas tidak ada yang menduga kalau Sunarno memiliki kecintaan besar terhadap wayang, apalagi menduga ia menjadi dalang. Pemuda ini hanyalah anak seorang petani biasa. Apalagi Sumut bukanlah daerah yang terbiasa dengan pertunjukkan wayang. Namun Sunarno memang sudah memiliki tekad yang cukup kuat untuk menjaga kelestarian wayang dan terjun langsung di dalamnya. Pernah pada satu waktu ia menghadiri sebuah ajang kompetisi sinden dimana pemenangnya justru adalah orang luar negeri yang juga ikut mengikuti ajang tersebut. Saat itu ia mengaku merasa miris lantaran orang asing justru lebih bisa menguasai budayanya ketimbang orang bangsanya sendiri. “Orang-orang luar saja suka sama budaya kita, kok kita nggak suka?” ujarnya. Lebih lanjut ia menambahkan , “Bisa-bisa justru kita yang belajar sama orang luar nantinya,” katanya.
Jalan untuk mewujudkan keinginannya tersebut ternyata tidak melulu berjalan baik. Sunarno kerap mendapat cemoohan dari teman-teman seusianya. Tak heran ia justru lebih banyak bergaul dengan orang yang lebih tua darinya. Meski demikian, ia tidak merasa minder karena meyakini kalau apa yang telah menjadi niatnya itu adalah suatu hal mulia walau harus berbeda dengan orang lain. Ia justru berpikiran kalau teman-temannya tidak akan seperti itu jika mereka memiliki pemahaman yang cukup atas budaya wayang. Besar harapannya, media massa, khususnya televisi, mau menyajikan berbagai informasi yang dapat membantu generasi muda mengetahui lebih jauh soal wayang agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. “Kalau bisa disiarkan pada jam-jam produktif dan jangan cuma di tayangkan di satu stasiun TV saja, tapi juga di semua stasiun TV,” paparnya.
Sebelum mulai menjadi dalang, Sunarno harus terlebih dulu mempelajari Karawitan. Adalah Joko Santoso, sang Pembina yang memaksa Sunarno agar mempelajari karawitan terlebih dulu jika mau mendalang. Menurut Joko, supaya maksimal sebagai dalang, Sunarno harus lebih dulu memahami karawitan agar bisa menyesuaikan dengan musik yang mengiringi pertunjukkannya nanti. Joko cukup disiplin dalam menerapkan latihan bagi anak didiknya. Ketika ditanya mengenai kondisi wayang saat ini, Joko menganggap kalau wayang di Indonesia, khususnya Pulau Jawa sudah cukup maju karena banyak mendapatkan apresiasi dari masyarakat sekitarnya. “Kalau di Sumatera, jarang orang yang peduli sama wayang, mas,” keluhnya menjelaskan kondisi pewayangan di Sumut. (AOVI / thin)