Ki Sri Hastanto: Kenekadan Sebuah Tekad

Lakon Sang Ajoto Satro menjadi penutup hari pertama Festival Dalang Remaja (FDR) 2011 yang digelar di Gedung Pewayangan Kautaman TMII, Jakarta. Ki Sri Hastanto, sang dalang, sengaja memilih lakon yang menggunakan Puntadewa sebagai tokoh utamanya karena sangat jarang dimainkan. Meski mengidolakan Werkudoro sebagai karakter favoritnya, menurutnya Puntadewa sama dengan Pandawa Lima lainnya yang memiliki kelebihan, hanya saja dalam festival seperti FDR ini, kebanyakan memilih lakon dengan tokoh utama seperti Werkudoro atau Arjuna yang banyak memainkan teknik sabet. Tokoh Puntadewa sendiri mewakili karakter arif dan bijaksana dalam Pandawa, sehingga lakon yang dibawakannya lebih menonjolkan antawacana karena lebih banyak diisi oleh dialog.

Datang sebagai perwakilan Provinsi DI Yogyakarta, persiapan yang dilakukan rombongan Tanto terbilang minim. Praktis mereka hanya melakukan tiga kali latihan dengan gamelan, itu pun masih kurang lengkap karena terbentur padatnya jadwal. Namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi penampilan Tanto di atas panggung. Kemampuan Tanto memang cukup terlihat dalam ajang FDR ini, terutama penjiwaannya yang terbilang cukup baik dalam menguasai lakon. Paling tidak hal tersebut diamini oleh Ki Suwondo yang bertindak selaku pembinanya. Pak Wondo, begitu ia biasa disapa, menilai kalau anak didiknya masih memilki beberapa kelemahan, terutama dalam kemampuan vokal. Tanto dinilainya masih harus belajar banyak untuk mengolah kemampuan vokalnya.

Dalang kelahiran Sleman, 1 Maret, 22 tahun silam yang akrab dipanggil Tanto ini mengaku sudah kepincut dengan wayang dan ingin menjadi dalang semenjak kecil. Baginya, dalang merupakan profesi yang sangat terhormat dalam pranata sosial. Hanya saja ia memiliki sedikit kekhawatiran orangtuanya tidak merestui niatnya tersebut mengingat profesi dalang masih dianggap sebagai profesi yang tidak menjanjikan masa depan. Kebulatan tekadnya ternyata berbuah nekad. Demi ambisinya tersebut, ia sengaja tidak memberi tahu orangtuanya kalau ia sudah mendaftar di SMKI Yogyakarta, Jurusan Pedalangan. Melihat sang anak sudah terlanjur menetapkan langkahnya, orangtua pun tidak bisa berbuat banyak. Menginjak bangku kuliah, Tanto justru memilih masuk Akademi Pertanian Yogyakarta. Tanto yang memang lahir dari keluarga petani ini beralasan bahwa, pertanian dan pedalangan merupakan profesi yang bisa saling menopang satu sama lainnya.

Menyikapi perkembangan wayang saat ini Tanto mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama melestarikan kebudayaan, terlebih lagi masyarakat Jawa yang sudah sepatutnya melestarikan kebudayaan wayang yang merupakan warisan nenek moyang. “Wayang jangan sampai punah soalnya ini budaya bangsa kita,” ujarnya bersemangat. Lebih lanjut ia juga mengajak para dalang sebagai tokoh pusat dalam wayang agar lebih bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. “Dalang juga jangan kolot, harus mau membaur dengan zaman,” ujarnya.

Namun demikian, Tanto berkeinginan tidak hanya menjadi dalang semata. Ia berkeinginan memiliki profesi lain di luar dalang. Ia menyimpan sedikit kekhawatiran kalau perkembangan jaman saat ini belum mampu memberikan jaminan masa depan jika hanya mendalang semata. Ketakutan yang sama dengan apa yang dirasakan orangtuanya dulu. Wayang saat ini menurutnya sudah banyak mengalami penyusutan. Ia mencontohkan, jika dulu wayang masih digunakan sebagai bagian dari ritual masyarakat, kini hal tersebut sudah sangat jarang ditemui.

Jika Tanto merasa kurang yakin dengan perkembangan wayang ke depan, tidak demikian dengan Pak Wondo. Sang pembina justru merasa optimis jika wayang akan berkembang meski harus melalui tahap pasang surut dalam prosesnya ke depan. Keyakinannya tersebut dilatari oleh nilai Adiluhung yang melekat dalam wayang yang menurutnya tidak pernah kehabisan materi. Wayang memiliki keistimewaan karena ceritanya bisa digunakan untuk menggambarkan berbagai macam situasi, termasuk situasi kekinian, tanpa harus melanggar pakem wayang itu sendiri. (AOVI / thin)

Share Button

Leave a Comment