Festival Dalang Bocah: Anak Bukan Sekedar Boneka

 
Pagelaran Festival Dalang Bocah 2017 telah usai. Festival tingkat nasional yang diselenggarakan di Panggung Candi Bentar, TMII, Jakarta, 21-23 September 2017 ini menghadirkan 28 peserta dalang anak yang tersebar di beberapa daerah; mulai dari pusat episentrum wayang di Jawa Tengah, hingga daerah jauh dari pusat seperti Kalimantan.
Selain pendidikan, nilai keberagaman bisa menjadi salah satu tema besar festival yang rutin digelar setiap tahunnya ini. Kemunculan Wayang Golek Menak yang dipentaskan kontingen Yogyakarta pada Festival Dalang Bocah ke-8 ini bisa menjadi penanda betapa beragamnya bentuk wayang yang dimiliki Indonesia. Bentuk wayang yang beragam ini-yang tentunya dihadirkan dengan keragaman cerita, bahasa, hingga teknik penyajian-tentu akan memberikan pengetahuan tersendiri kepada publik, khususnya anak-anak, tentang apa dan bagaimana wayang yang sesungguhnya pada konteks kebudayaan, sejarah, dan peradaban manusia.
Diluar pesan pendidikan dan pembinaan, kegiatan pewayangan dan pedalangan justru tak boleh terjebak menjadi doktrin yang dogmatis. Keragaman di atas menunjukkan, bahwa wayang merupakan sebuah sarana atau media yang menghantarkan pesan tentang nilai-nilai luhur dan kebajikan; apapun bentuk wayang tersebut.
Ketua Dewan Juri Festival Dalang Bocah 2017, Trisno Santoso, menegaskan hal ini. Ia sangat berharap adanya kegiatan besar bagi para dalang anak, dimana kegiatan tersebut akan diisi dengan berbagai workshop yang melibatkan anak-anak sebagai subyek. Menyebutnya kegiatan impian tersebut sebagai semacam jambore atau workshop berskala besar, Trisno menginginkan anak-anak dapat terlibat lebih dalam ketimbang hanya sekedar menjadi ‘pihak yang dididik’, dan menggunakan kreasi kekanak-kanakannya untuk dapat memahami wayang secara keseluruhan. “Agar anak-anak bisa memahami wayang dari dunia mereka, bukan sekedar dari kacamata kita orang dewasa,” ujar Trisno ditemui di sela-sela perhelatan Festival Dalang Bocah 2017.
Menariknya, hal senada diungkapkan Ernanda Bima Megantara, dalang bocah peserta dari Jawa Timur. Nanda sungguh berharap ada agenda besar yang bisa mempertemukan antar dalang bocah, agar ia bisa belajar dari perbedaan-perbedaan bentuk wayang yang ada. Melalui perbedaan tersebut, Nanda dapat melihat sesuatu yang lain dari yang ia pelajari tentang wayang selama ini.
Bisa jadi pendidikan yang tak memerdulikan sudut pandang sang anak justru hanya akan menjadi sekedar ceramah yang hanya akan berlalu begitu saja. Bagi Ketua Umum PEPADI, Kondang Sutrisno, keragaman inilah yang bisa menjadi jembatan pembelajaran bagi anak-anak untuk memahami wayang bukan sekedar dalam hal teknis. Kuncinya justru ada di para orang tua yang mau membuka pengetahuan kepada anak-anak tentang dunia. “Anak tidak boleh hanya menjadi boneka,” tandas Ketua Umum PEPADI itu terkait pola pendidikan dan pembinaan bagi dunia pedalangan anak-anak.
Ya. Dunia anak-anak terlalu menarik untuk dijejalkan dengan cara berpikir kita yang politis dan ‘njelimet’. (PJD)
Share Button

Leave a Comment