Berapa Lama Lagi Wayang Akan Bertahan?

Generasi Awkarin, Wayang dan Bayang-Bayang Kegemilangan Masa Silam

den-gala-2

Keramaian menyeruak di seputar Museum Wayang dan Museum Seni & Keramik si pelataran Kota Tua, Jakarta. Rupa-rupanya, Festival Dalang Bocah dan Dalang Muda 2016, tengah berlangsung di lokasi tersebut. Ibu Susanti, yang jauh-jauh datang dari Cisarua, Bogor, untuk membawa murid-muridnya study tour sangat menikmati pagelaran yang ada.

“Saya senang dengan acara ini. Meski sudah beberapa kali ke museum ini tapi baru kali ini bisa datang pas dengan acara Festival Dalang Bocah. Murid-murid saya sangat tertarik dengan memperhatikan pertunjukan wayang.” Ujar Bu Susanti yang merupakan Guru Seni Budaya dari SMP Permata Bangsa, Cisarua, Bogor. “Kebetulan mereka ini kan jarang menyaksikan wayang, apalagi secara langsung… Makanya tadi waktu melihat pagelaran mereka terheran-heran. Kok bisa ya bikin suara yang berbeda-beda. Kok bisa ya memainkan wayang dengan banyak gerakan… Padahal yang main wayang masih kecil-kecil… Mereka antusias dan selalu bertanya kepada saya setiap ada hal yang tidak mereka mengerti. ”

Secara sekilas tentu kita senang mendengar apresiasi yang ada. Apalagi jika kita mendengar kisah para dalang bocah yang masih sangat lugu dan apa adanya. Biasanya, mereka, ketika ditanya mengapa menjadi dalang, kebanyakan menjawab bahwa itu lantaran mereka menyukai wayang. Sudah. Hanya itu. Dan memang sesederhana itu. Kalaupun ada tambahan, pastilah jawabannya sudah bisa kita duga, yakni bahwa wayang adalah peninggalan leluhur yang memiliki nilai budaya tinggi dan patut dilestarikan. Misalkan saja, Aditya Saputra, pemenang Festival Dalang Bocah 2015. Dengan sangat yakin Adit mengatakan ‘tiada hari tanpa wayang’ dan memang demikianlah ekspresi kecintaannya kepada wayang.

07-dalbo

Mengekspresikan apa yang kita cintai dengan ungkapan positif tentu sesuatu yang jamak. Tetapi, bagaimanakah tanggapan awam akan wayang? Bagaimana pula tanggapan generasi Awkarin–yang kita kenal dengan nama generasi millennial atau generasi Y–akan tradisi adiluhung peninggalan leluhur ini?

Pragmatisme. Tentu bukan hal yang bisa kita tutup-tutupi lagi. Sikap ini menjadi kecenderungan yang bahkan jauh sudah bergerak sebelum generasi millennial lahir. Sulit membayangkan anak Indonesia mendadak tertarik mempelajari kesenian ini; baik secara filsafat maupun teknis. Hal itu masih pula ditambah dengan citra bahwasanya sulit mengandalkan hidup jika semata hanya bergantung menjadi dalang. Dan yang paling buruk, jika tak ingin menyebutnya mandeg, adalah kenyataan bahwasanya wayang telah gagal mentransformasikan dirinya di tengah perkembangan jaman yang ada.

“Sekarang ini kalau orang yang belajar wayang Betawi, ya cuma saya saja… Soalnya yang lain pada nggak tertarik. Anak-anak kecil juga pada nggak suka…” Demikian jelas Sopian, seorang dalang muda betawi yang tinggal di Bantar Gebang.”

Jadi, dengan semua ini, kira-kira berapa lama lagi wayang akan bertahan?

Den Gala, seorang dalang wayang golek kelahiran Bogor, mengungkapkan jika ia masih optimis dengan kaderisasi yang berjalan. Selama dalam mengenal wayang anak tidak dibatasi dengan aturan-aturan, pakem ataupun beban-beban lain, ia yakin wayang masih bisa diselamatkan. Demikian pula dengan Pak Sutiman, ayahanda dari dalang muda Dyas Syawal Lukman. Bermula dari mengikuti sanggar di Taman Mini Indonesia Indah, kini Pak Sutiman berhasil membangun sanggar sendiri, lengkap dengan seperangkat gamelan dan peralatan wayang. “Sanggar saya terbuka bagi anak-anak yang ingin mempelajari wayang. Sayangnya, saat ini belum ada tenaga pengajar. Mungkin nanti jika sudah ada latihan di sanggar akan saya buat berkala.”

Dalang muda asal Indramayu, Dede Tismala, mengatakan wayang Indonesia sangat kaya. Karena setiap daerah memiliki ragam cerita dan juga ragam bahasa dalam penyampaiannya. Dengan modal kekayaan tersebut ditambah racikan yang pas dari kekuatan ekonomi kreatif, tentu wayang dapat menjadi lahan basah; bukan saja secara ekonomi, namun juga mampu menjadi pemantik bagi kebangkitan nasional part dua.

Adalah sebuah mimpi jika generasi Awkarin bisa menjadi penikmat wayang. Tidak perlu sampai menjadi holligan wayang, sekedar menjadi supporter ala liverpudlian pun cukup rasanya.

Share Button

Leave a Comment