Bagus Pramita Adi Nugroho : Si Otodidak dari Mojokerto

Bagus baru saja menuruni panggung utama Festival Dalang Bocah (FDB) 2012 yang digelar di pelataran Museum Bank Indonesia, Jakarta. Lakonnya, Labuh Nagri, yang dibawakan dengan Gaya Jawa Timuran, sukses membuatnya disalami banyak orang. Bocah bertubuh kecil itu tersenyum simpul. Bagus adalah peserta ke-6 yang tampil di hari pertama FDB 2012 (5/7). Ke-5 peserta sebelumnya tampil di bawah panduan sinar matahari. Bagus beruntung, ia pementas pertama yang menggunakan pencahayaan panggung, pementasan malam yang memang menciptakan nuansa dramatis ala pertunjukan panggung.

Di luar soal lampu, kelahiran Wonogiri, 20 Januari 2001 itu memang memberikan performa yang prima. Teknik yang baik dipadukan dengan vokal yang khas memberikan corak pada karakter tokoh yang dimainkannya. Beberapa penonton terdengar ikut meramaikan suasana dengan ceplosan-ceplosan khas tontonan wayang yang dibawakan dalang dewasa. Tak sampai di situ, perbincangan singkat dengan bocah berusia 11 tahun ini memberikan harapan positif akan masa depan dunia wayang dan pedalangan.

Berbekal keinginan dan hasrat, Bagus mendalami dunia wayang secara otodidak. Kisah perkenalannya dengan wayang masih membekas di ingatannya, ketika sang kakak, Sehono Wisnu Purwo Laksito, mengajaknya menonton Ki Enthus di alun-alun kota. Wisnu sendiri bukan nama asing di gelar kegiatan Festival Dalang Bocah, ia sudah merasakan menjadi dalang bocah terbaik. Namun, bukan pengaruh kakaknya yang membuat Bagus terjun menjadi dalang bocah. Hasrat pribadinyalah yang membawa siswa SD IT Permata Mojokerto ini memilih mendalami dunia pedalangan.

Otodidak dan keinginan yang kuat itu dibuktikannya melalui lakon yang dibawakannya malam ini, lakon yang menjadi pilihannya sendiri. Bagus paham, Kumbakarna adalah sosok raksasa yang biasanya selalu dikaitkan dengan citra yang buruk, baik rupa maupun hatinya. Namun, tokoh Kumbakarna membawanya ke tingkat pemahaman yang berbeda, sebuah pemahaman yang tidak lazim untuk seorang anak usia 11 tahun. “Dia (Kumbakarna-red) raksasa, tapi hatinya bersih dan ksatria,” ujar Bagus ditemui di ruang ganti pemain.

Proses memahami wayang dan dunia pedalangan secara otodidak juga memberikan kekhasan sendiri terhadap cara berpikir Bagus. Ia menolak masuk sanggar ataupun institusi sejenis yang akan membawa teknik mendalang hanya pada tataran teknis semata. Baginya, menjadi manusia pandai yang terus belajar akan jauh lebih membantunya memberikan ilmu ketimbang mendalami dunia wayang dari segi teknis melulu. “Sanggar cuma belajar teknik. Aku maunya jadi orang pintar,” sambut Bagus saat ditanya apakah tertarik mendalami wayang melalui jalur pendidikan formal.

Pengetahuan Bagus sesungguhnya bukan didapat begitu saja. Adalah jasa besar sang ayah, Setu, yang mengguratkan tradisi dan budaya di benak terdalam kedua putranya. Sejak ditimang, Setu membiasakan tembang mocopat mengalir dan meninabobokan. Ketika putra-putranya telah mengenal wicara, Setu terus menanamkan tembang mocopat sebagai bekal dasar berpikir sang anak. “Fondasinya mocopat. Karena di situ ada nilai kehidupan dan penghidupan. Sederhana, tapi punya makna yang akan membentuk kepribadian,” jelas Setu.

Bagi Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto itu, Bagus memiliki kelebihan tersendiri. Dari segi teknik pedalangan, putra keduanya itu mampu memainkan vokal yang keluar dari hati, satu hal yang tidak banyak ditemuinya di dalang anak-anak. Selain itu, kemampuan mengadopsi irama menjadi salah satu penentu Bagus saat menciptakan harmonisasi dalam dramaturgi pementasan wayang. “Dia (Bagus-red) itu kalo nggendang, pinter cara menggiringnya. Halus tapi kena,” tambah Setu.

Soal otodidak, Setu menegaskan hal yang sama. Pertama kali Bagus memegang wayang dan berusaha belajar wayang dilakukannya sendiri. Demikian juga saat mempersiapkan pementasan FDB 2012 ini, Bagus memilih sendiri lakon yang ingin dimainkannya. Awalnya, Bagus ingin mementaskan lakon gugurnya Kumbakarna. Namun, sang ayah yang juga penari dan penembang mocopat sangat memahami, lakon paten-patenan bukanlah lakon yang cocok untuk dalang muda, apalagi dalang bocah yang masih berusia 11 tahun. Karena itulah, Setu akhirnya membungkus dramaturgi dan penyajian pementasan Bagus dengan lakon Labuh Nagri. Sang kakak, Wisnu, menjadi pengendangnya.

Namun, sebagai layaknya orang tua, pria kelahiran 50 tahun yang lalu ini tetap punya harapan sederhana, bahwa putra-putranya akan hidup sejahtera. Setu tak pernah mengarahkan, baik Wisnu ataupun Bagus, untuk hidup dari seni atau dari bidang apapun. Selama semua dilakukan dengan ketentraman hati, niscaya pasti akan berujung pada kebahagiaan dan kesejahteraan. “Tugas saya sebagai orang tua ya melihat apa yang menjadi kekuatan anak, lalu berusaha memberikan jalan terbaik. Tapi tetap saja, pilihan ada pada sang anak,” tandas Setu menutup perbicangan. (AOVI | PJD)

Share Button

Leave a Comment